Karya: lana.azkia
Sumber : http://cerpen.net/cerpen-motivasi/dua-malaikat.html
Negeriku berduka
Terlintas sebuah tanya pada setiap benak jiwa-jiwa rapuh
Belum cukupkah penderitaan bangsa ini?
Setelah berbagai kasus tikus-tikus kantor yang menggerogoti daging saudaranya sendiri
Mengapa kini harus ada kematian demi kematian tragis lagi??
wahai jiwa-jiwa yang luka
yang merana,hampa dan mati rasa
Kembalilah engkau bersinar
Terangi negeri ini dengan semangat
Bersatulah….
Namun dekat di hati
Meski kau tak hiraukanku
Namun aku tetap menanti
Bayangan dirimu
Selalu dalam mimpi
Dipelukmu
Harapan dalam hati
Aku tak ingin tubuhmu
Tapi kuingin cintamu
Rasa ini telah lama ku miliki
Cinta ini kan ku simpan dalam hati
Sesungguhnya hatiku merintih
bergumul kesusahan menanti kasih
dari sahabat pun kekasih
mata hatiku menangis perih
karena hidupku yang sedih
dengan jiwa yang selalu tertindih
beban yang selalu datang tiada henti
adakah seorang di sana mengerti
bahwa semua kuberi
meski kucoba berlari
meninggalkan hari-hari
seolah tiada diberi arti
ku hanya ingin dimengerti
meninggalkan aku
yang tidak berdaya
mungkin
inilah takdir cintaku
Aku bertanya dalam hati
akankah aku berdiri sendiri
di tengah laut yang tak bertepi itu?
Jika itu memang takdirku
biarkanlah aku menenang ombak besar
dengan sekeping hati yang kau tinggalkan
Biarkanlah aku
menghadang badai itu dengan kehancuran hidupku
lepaskanlah aku
dilamun ombak
yang menenggelamkanku ke dasar laut
dan mengubur kisah cintaku
ke dasar samudera
Kau merantau di ujung bendul
menarik urat leher
mengusir asap meninggalkan api
kerena kau tahu
rezeki elang tak akan dapat musang
ayah
walaupun kau berendam sesayak air
berpaut sejengkal tali
kau masih berhati baja berurat kawat
dan menadahkan tangan ke langit
agar selangkah berpantang surut,
setapak berpantang mundur
ayah
kau kandil sukmaku
di dalam hidupku
Aku temui rumah berpintu rindu
Aku membuka tersibak
melihat wajah penuh cahaya
ini ruang rindu
tempat kau dan aku berkaca
tapi kau pergi tanpa kata
wajahmu masih menyimpan cahaya
bersinar di atas untaian seribu bayangan
aku tahu kau tak kembali
ini ruang rindu kau dan aku
untuk menghadap pada-Nya nanti!
Karya: Edi Sarjani
Sumber : http://xpresiriau.com/
dalam kabutmu
Senja menguning
membenamkan dendam
Tak kukutuk debu
membatu dalam karatmu
Batu-batu mengapungkan
malam yang ringkih
Tak kuhunjam hitam nafasku
dalam darahmu
Nafas menggamang yang semput
Tak kuribut sunyiku terbengkalai
dalam dunia gemamu
Bengkalai kata meremukkan serapah
Tak kuhancur. Tak kulebur.
Tak habis jemari kutekan.
Hingga angin terjungkal
tak kugenggam
Perlahan kubuka mata
Di antara cahaya
Andai….
Paras biasa namun mempesona
Gurat suram namun bercahaya
Bias risau namun memukau
Geliat kisut namun berkharisma
Tautan lara berganti suka cita
Khayal inilah khayalanku
Ingin inilah keinginanku
Harap inilah harapanku
Pinta inilah pintaku
Mengubah rupa suram dengan tentram
Mengganti hati luka menjadi bahagia
Menyalin kalbu rusak dengan keikhlasan
Memindahkan impian kacau dengan iman
Menyerukan raga dengan kharisma
Kau seperti pagi
yang tak hiraukan petang
Aku adalah malam
yang bangga akan kelam
Dia bagaikan waktu
yang berlalu sia-sia
Kau dan Aku sebenarnya
hanyalah katak dalam tempurung,
setetes air di lautan luas.
Begitu juga dia.
Kau, aku, dan dia….
Mereka hanyalah seonggok
tanah bernyawa
yang akan menjumpai kematian
dengan nista,
lebur menjadi tulang belulang
tanpa sisa,
dan akan kekal di neraka.
Janji-Nya.
Pada pertiga malam
Sebongkah asa
yang tak pernah diam
manakala airmata
menjadi penyatu antara isak
yang menyulam rindu
Gigil tubuh
Merapat kian dekat
Memberi ratap
Dalam pinta yang menggugat
Adalah aku mendapat tempat
Maka kutangkup puisi
Hati menyelam di kali diri
Dia yang menyandang puji
Aku ikrarkan sebuah janji
Tuhan,
Dengarlah kidungku
Dalam gulir-gulir zikir
Terangkai dalam tasbih
Kugelimang puja
Sambil merapal doa-doa
Tuhan,
Pandanglah aku
Telah mengeras tulangku
Menyumbat liang dosa
Dalam megap nafasku
Dan telapak tangan
Yang meracik darah
Aku tidak berhenti
Tak ingin pulang
Ke sana lagi
Malam larut terpaku hening
Suara jangkrik bersahutan nyaring
Mata lelap di tubuh lelah tak bergeming
Membawa mimpi ke alam asing
Hentakan embun berurai dingin
Dipeluk beku sepoian angin
Menarik tangan tuk berselimut kain
Berpindah ke alam mimpi yang lain
Tidaklah bagi pemilik hati nan bening
Jauhkan diri dari jiwa yg kering
Bagai selalu dibasahi embun bening
Bangun bangkit dari baring
Tundukkan malam berbuat ihsan
Tebarkan sajadah nyalakan dian iman
Terlena sujud di belaian Tuhan
Mohon ridho dan ampunan
Bersihkan diri dari dosa dan kesalahan
Menjadikan malam penuh keberkahan
Takkan tahajud pernah ditinggalkan
Walau mimpi menggodakan
Kobarkan semangat penuh ketaqwaan
Sebagaimana engkau telah disempurnakan
Saat aku membacanya hatiku terasa terang
Saat tidak membacanya hatiku gelisah
Alquran..
Engkau kitabullah
Saat hatiku membacanya hatiku terasa segar dan bugar
Saat aku menghafalnya pikiranku tenang
Alquran
Engkau adalah tempat mencari ilmu
Kalau tidak ada engkau
Seperti apakah manusia ini
Alquran
Begitu indahnya engkau
Kalau engkau dibaca
Pahala yang kudapati
tuantuan berlencana
berkencana mewah dari bavarian
yang selalu menimang ribuan rencana
saya tardjo,
pedagang soto di balik tembok pemisah
di belakang, berdiri rumahrumah mewah
di depan gerobak soto yang hampir terbelah
berdiri juga banyak rumah
ukurannya bervariasi kalau tak salah
kirakira tipe 21 kurangnya lebih dari setengah.
maksud kedatangan surat ini
bukan untuk menghakimi
apalagi memprovokasi!
saya hanya mewakili,
segenap aspirasi
yang berkasnya tak sampai di meja demokrasi
atas perhatiannya, saya ucap terima kasih.
Tangerang, 2008
by:Roy Manu Leveran
Sumber : http://vanindita.name/
Dia adalah rantai penghubung
Antara dunia ini dan dunia akan datang
Kolam air manis buat jiwa-jiwa yang kehausan,
Dia adalah sebatang pohon tertanam
Di lembah sungai keindahan
Memikul bebuah ranum
Bagi hati lapar yang mencari.
Dia adalah seekor burung ‘nightingale’
Menyejukkan jiwa yang dalam kedukaan
Menaikkan semangat dengan alunan melodi indahnya
Dia adalah sepotong awan putih di langit cerah
Naik dan mengembang memenuhi angkasa.
Kemudian mencurahkan kurnianya di atas padang kehidupan. Membuka kelopak
mereka bagi menerima cahaya.
Dia adalah malaikat diutus Yang Maha Kuasa mengajarkan Kalam Ilahi.
Seberkas cahaya gemilang tak kunjung padam.
Tak terliput gelap malam
Tak tergoyah oleh angin kencang
Ishtar, dewi cinta, meminyakinya dengan kasih sayang
Dan, nyanyian Apollo menjadi cahayanya.
Dia adalah si tukang jahit yang menjahit benih hatinya di ladang kasih sayang
dan kemanusiaan menyuburkannya
Dan hanya dikenali sesudah jasad ditinggalkan
Dunia pun mengucapkan selamat tinggal dan kembali ia pada IlahiInilah penyair yang tak meminta apa-apa
dari manusia kecuali seulas senyuman
Namun manusia tetap menafikan kewujudan keindahannya
Sampai bila manusia terus terlena?
Sampai bila manusia menyanjung penguasa yang
meraih kehebatan dgn mengambil kesempatan??
Sampai bila manusia mengabaikan mereka yang boleh memperlihatkan
keindahan pada jiwa-jiwa mereka
Simbol cinta dan kedamaian?
Sampai bila manusia hanya akan menyanjung jasa org yang sudah tiada?
dan melupakan si hidup yg dikelilingi penderitaan
yang menghambakan hidup mereka seperti lilin menyala
bagi menunjukkan jalan yang benar bagi orang yang lupa
Dan oh para penyair,
Kalian adalah kehidupan dalam kehidupan ini:
Telah engkau tundukkan abad demi abad termasuk tirainya.
Penyair..
Suatu hari kau akan merajai hati-hati manusia
Dan, kerana itu kerajaanmu adalah abadi.
Penyair..periksalah mahkota berdurimu..kau akan menemui kelembutan di
sebalik jambangan bunga-bunga Laurel…
(Dari ‘Dam’ah Wa Ibtisamah’ -Setitis Air Mata Seulas Senyuman)
Kahlil Gibran
Sumber : http://vanindita.name/
Bangun di fajar subuh dengan hati seringan awan
Mensyukuri hari baru penuh sinar kecintaan
Istirahat di terik siang merenungkan puncak getaran cinta
Pulang di kala senja dengan syukur penuh di rongga dada
Kemudian terlena dengan doa bagi yang tercinta dalam sanubari
Dan sebuah nyanyian kesyukuran terpahat di bibir senyuman
Kahlil Gibran
Suber : http://vanindita.name/
mencipta fikiran-fikiran masa lalu menjadi nyanyian pujian agar bersenandung siang hari dan menyanyi pada malam hari.
Sekarang, hasrat menyingkapkan tabir keraguan dari kebingungan pada
tahun-tahun yang telah berlalu.
Dari rangkaian kesenangan, ia merajut kebahagiaan yang hanya bisa dilampaui dengan kebahagiaan jiwa ketika ia memeluk tuannya.
Itulah dua peribadi kukuh yang berdiri berdampingan untuk
mempertentangkan cinta mereka dengan kedengkian dari takdir yang lemah.
Itulah perpaduan anggur kuning dengan anggur warna lembayung untuk
menghasilkan paduan keemasan, warna cakerawala saat fajar merekah.
Itulah pertentangan dua roh untuk pertentangan dan kesatuan dua jiwa
dengan kesatuan. Ia adalah curahan hujan jernih dari langit murni ke dalam
kesucian alam, membangkitkan kekuatan-kekuatan ladang yang penuh berkat.
Apabila pandangan pertama dari wajah sang kekasih adalah seperti benih
yang ditaburkan oleh cinta di ladang hati manusia dan ciuman pertama dari
dua bibir adalah seperti bunga pertama cabang kehidupan, maka perkahwinan adalah buah pertama dari bunga pertama benih itu.
(Dari Suara Sang Guru)
Khalil Gibran
sumber : http://vanindita.name/
Itulah saat sekilas yang menyampaikan pada telinga jiwa tentang risalah hari-hari yang telah berlalu dan mengungkapkan karya kesedaran yang dilakukan malam, menjadikan mata jernih melihat kenikmatan di dunia dan menjadikan misteri-misteri keabadian di dunia ini hadir.
Itulah benih yang ditaburan oleh Ishtar, dewi cinta, dari suatu tempat yang tinggi.
Mata mereka menaburkan benih di dalam ladang hati, perasaan
memeliharanya, dan jiwa membawanya kepada buah-buahan.
Pandangan pertama kekasih adalah seperti roh yang bergerak di permukaan
air mengalir menuju syurga dan bumi. Pandangan pertama dari sahabat
kehidupan menggemakan kata-kata Tuhan, “Jadilah, maka terjadilah ia”
Khalil Gibran
sumber : http://vanindita.name/
pucuk rembulan di puncak malam
jadi saksi bisu gelisah ombak,
di tengah luap dan teriak alpa
rimbun pening pikat
tak terhembus angin rindu ujung pantai
semakin pengap isi otak bercecer sembarang
bersama pasir putih yang terenyuh
gigi pantai dirajam tawa
gelombang air terpasung dosa
pertarungan lidah bersimbah lelah
terengahengah desah penuh gairah
kecup gunung berbongkah mengusap lembut ke bawah
: menarinari, meliukliuk di sisi lembah
di pinggir pantai, basah
baris riak merantai, jengah
saksikan sunah berubah zinah
by:Roy Manu Leveran
sumber : http://vanindita.name/
Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.
Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.
Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.
"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.
Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.
Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.
Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.
Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.
Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi. Setelah menjadi muslim namanya menjadi Wahyu Sulaeman Rendra.
Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.
Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati
Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.
HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.
Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.
Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.
Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.
Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.
Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.
Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.
Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.
Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.
Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.