Minggu, 04 Oktober 2009

Tukang Becak Juga Guru

Sebenarnya...mungkin akan banyak orang yang menyangkal, bagaimana mungkin seorang tukang becak bisa menjadi guru?! Bahkan mungkin aku juga adalah salah satunya. Tetapi itu tidak berlaku lagi setelah suatu hari aku menyaksikan kehidupan seorang tukang becak dan keluarganya. Tentu sebagian orang berpikir kehidupan tukang becak ya hanya seperti itu. Hidup serba terbatas, berpikiran sederhana, yang penting hari ini bisa makan, miskin papa, terbelakang dan menutup diri dari segala informasi atau bahkan memang tak mau perduli dengan informasi itu sendiri. Sebenarnya itu hampir sebagian benar adanya. Tetapi kali ini tidak demikian. Karena yang aku pahami setelah mengetahuinya adalah seperti ini....
Sokiman, itulah nama kecil yang diberikan kepadanya ketika kecil. Dia terlahir di desa sangat terpinggirkan saat itu. Terlahir saat Belanda masih menduduki daerah Kesamben Blitar. Tepatnya desanya bernama Sumbernanas. Mungkin bila kita cari di peta akan sangat sulit untuk menemukannya, atau bahkan saat kita mencarinya secara langsungpun akan sangat sulit untuk mendapatinya. Karena desa itu sedemikian terpencilnya. Akses jalan masuk desa dibatasi langsung oleh bukit dan bulak atau bahasa Indonesianya lahan terbuka yang luas. Dia hidup bahkan tidak dipelihara langsung oleh orang tuanya, karena orang tua lelakinya ikut berjuang melawan penjajah sampai ke pulau seberang yaitu Sumatra dan tidak terdengar lagi kabar beritanya. Bude dan Pakde-nyalah yang memeliharanya hingga dewasa. Sekolahpun ditempuhnya dengan berjalan kaki 10 km setiap harinya yang berarti Sokiman kecil harus berjalan 20 km tiap hari demi ilmu yang diidamkannya.
Sepulang sekolah sejak kecil Sokiman tak pernah tinggal diam, ia ke sawah, ke kebun, memetik kelapa untuk dibuat gula jawa, menggiring sapi serta kambing. Begitulah semua dilakukan demi tetap menyenangkan Pakde dan Budenya. Sampai saat remaja, dia aktif dengan kegiatan kesenian. Dia menjadi panutan para seniman walaupun usianya masih tergolong muda, karena dia mempunyai ketrampilan bermain gendang dan itu tidak dimiliki oleh anak sebayanya. Diapun menjadi pendiri kesenian ketoprak sampai akhirnya dia berhenti karena dia harus berkelana ke Kota Malang untuk mengadu nasib. Dia Menjadi penjual minyak wangi. Singkatnya dia berkecukupan uang dengan keahliannya meracik minyak wangi yang saat itu baru beberapa gelintir orang saja yang bisa melakukannya. Sangat bertolak belakang dengan saat ini, karena kita bisa memilih parfum dari segala aroma tanpa harus datang ke pasar atau alun-alun kota.
Setelah lama di kota, iapun kembali ke desa. dibangunnya rumah orang tua kandungnya dan dicukupilah kebutuhan semua saudaranya. Dia tak perduli walau dia harus berkorban dan bekerja keras setiap hari, semua dilakukan dengan ikhlas. Sampai suatu ketika, dia terpikat pada seorang wanita dari desa seberang. Desa Singkil, tepatnya adalah desa selatan dan barat dari Kabupaten Malang. Akhirnya dia menikah.
Kehidupan di desa Singkil ternyata membawanya keambang kebangkrutan, karena desa itu sangat tertinggal dan jauh dari keramaian, miskin dan tanahnya sangat tandus. Mulailah ia dengan kehidupan yang sudah lama ditinggalkannya, bertani, menebang pohon, memikul batu gamping, bahkan sampai harus memanggul lemari untuk dijajakan demi beberapa rupiah saja. Bahkan ia pun pernah menjadi kuli pecah batu di Wlingi Blitar demi untuk mendapatkan penghasilan. Keluh kesahnya dipendamnya dalam-dalam.
Ujian tak cukup sampai disitu, karena dari pernikahannya hampir 13 tahun belum mendapatkan keturunan. Doa dan puji kepada yang kuasapun tak pernah lepas dari bibirnya. Mungkin Tuhan menguji kesabarannya. Dia akhirnya mengambil anak angkat dari saudara jauh. Dirawatnya dengan kasih sayang, hingga akhirnya tahun ke-5 putra pertamanya lahir. Ujian masih harus pula ditanggungnya, setelah kelahiran anak pertama dan keduanya, kehidupan di desa semakin tak menentu. Maka nekadlah dia merantau ke Kota Malang.
Sebenarnya banyak saudara jauhnya yang berhasil di kota itu. Rata-rata jadi pedagang. Maka iapun mulai ikut berdagang dengan pinjaman modal seadanya. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya uang hasil keuntungannya berdagang dan setelah terkumpul, dikirimnya ke desa. Beberapa tahun kemudian istrinyapun menyusulnya. Seiring dengan bertambah besar kedua anaknya, tidak semakin baiklah penghidupannya. Karena penghasilannya sudah tak mencukupi lagi. Akhirnya diapun gulung tikar. Pinjam modal sudah tak dipercaya lagi. Diapun memilih pekerjaan lain yang sangat tidak pernah dipikirnya, yaitu menjadi tukang becak.
Perjuangan hidup harus dilanjutkan, dia tetap optimis dan percaya bahwa Tuhan tidaklah tidur. Mungkin memang Tuhan sedang mengujinya. Tetapi prinsip utamanya adalah tetap memegang teguh keyakinan pada Tuhan yang maha pengasih dan penyayang, tetap berusaha memperoleh rejeki yang halal. Berangkat pagi pulang petang, demikianlah dilakukannya selama bertahun-tahun tanpa ada perasaan putus asa.
Seiring berjalannya waktu, anaknyapun tumbuh remaja. Anak lelakinya tergolong baik. Selalu mengikuti kegiatan Pramuka sejak kecil. Dipegangnya Dasa Dharma Pramuka dan Tri Satya sebagai pedoman hidup, itulah keyakinannya. Sementara ujian masih berlaku kepada Sokiman tua, anak perempuannya tak bisa sekolah dan terjebak pada pernikahan muda.
Tetapi Sokiman yang telah beranjak tua tetap berjuang mempertahankan hidup keluarganya. Dididiknya anak lelaki satu-satunya dengan budi baik dan selalu berusaha dipenuhinya keperluan sang anak. Sampai dia yakin betul bahwa anaknya kelak tetap teguh keyakinannya kepada Tuhan dan tetap hormat dan santun pada orang tua serta bermanfaat bagi masyarakat sekitarnya.
Ternyata perjuangan itu tidaklah sia-sia, anak lelakinya kini bisa hidup lumayan mapan, walaupun anak perempuannya kurang beruntung. Dia telah berhasil menanamkan keyakinan dan kekuatan mental pada anak lelakinya untuk mampu bertahan menghadapi godaan hidup, minuman keras, rokok, judi dan semua hal yang dilarang telah betul-betul berusaha dilawan oleh anak lelakinya. sampai akhirnya sejak lima belas tahun yang lalu, dia telah berhasil menerima manfaat dari kerja kerasnya. Anak lelakinya bisa memenuhi kebutuhan keluarga dari jerih payahnya. Dia dan istrinya yang telah beranjak senja telah bisa duduk santai tanpa harus bekerja keras lagi.
Sokiman tua bisa hidup tenang, senyumnya sudah bisa mengembang, kerja kerasnya kini adalah, dia berdoa siang dan malam bagi kedua anaknya agar bisa hidup semakin baik dari hari-hari sebelumnya. Tukang becak itu, dengan keyakinan imannya dan kerja kerasnya telah bisa mengubah hidup yang hampir tak bermakna menjadi penuh arti, trutama bagi kedua anaknya.
Semangatmu mengilhamiku wahai tukang becak, engkau juga guruku.

Karya : bara simon
Sumber : http://cerpen.net/cerpen-motivasi/tukang-becak-juga-guru.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar