Kamis, 23 April 2009

Salah Kaprah dalam Pelafalan Bahasa Indonesia

Sebagai bahasa nasional, Bahasa Indonesia mengalami tahap-tahap yang sangat penting dalam sejarah perkembangannya. Dimulai dari 1901, disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. Van Ophuysen dalam Kitab Logat Melayu sebagai cikal bakal bahasa Indonesia. Pada 1928 Bahasa Indonesia diikrarkan dalam Sumpah Pemuda sebagai bahasa persatuan. Kemudian tahun 1942 kedudukan bahasa Indonesia semakin kokoh akibat kekalahan belanda terhadap Jepang, yang secara otomatis bahasa Belanda tidak boleh dipergunakan lagi, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam situasi resmi. Tahun 1945 Bahasa Indonesia memperoleh kedudukannya yang lebih pasti sebagai bahasa nasional, bahasa resmi, bahasa kesatuan dan bahasa negara. Kemudian, dengan penetapan pemakaian ejaan baru oleh Presiden RI tanggal 16 Agustus tahun 1972, selangkah bahasa Indonesia maju menuju kesempurnaannya. (Lihat J.S Badudu.1985)

Melihat sejarah perkembangan bahasa Indonesia yang hampir mencapai satu abad, ternyata bukanlah hal yang mudah untuk menyempurnakannya dan menjaga dari pengaruh-pengaruh bahasa-bahasa lain (asing). Bahasa Indonesia masih belum cukup dewasa menahan gempuran dari bahasa-bahasa asing yang selalu mempengaruhinya. Selain ketidakmampuaannya dalam menahan gempuran, bahasa Indonesia juga masih ada yang terjadi salah kaprah penggunaanya, yang kali ini penulis coba mengangkat kesalahkaprahan bahasa Indonesia, dari segi cara pelafalan membaca akrostik dan akronim.

Bahasa Indonesia dari segi pembacaan kata akrostik dan akronim masih banyak-apakah karena sengaja atau karena sudah menjadi kebiasaan- yang salah kaprah. Ada beberapa kata yang pelafalannya kita menyesuaikan dengan lidah melayu, namun ada juga yang sedikit menggilitik lidah kita pelafalannya mengikuti dari kata aslinya –maksudnya bahasa asing- yang secara tidak sadar kita menganggap bahwa itu adalah pelafalan lidah orang melayu, khususnya orang Indonesia. Berikut akan penulis coba berikan contoh, mudah-mudahan menggugah hati anda.

Antara TV dan TVRI
Dalam pengucapannya, kita mengucapkannya dengan gaya pelafalan ejaan bahasa Inggris. TV (baca: tivi) mengapa kita tidak melafalkannya ‘teve’. Bukankah dalam bahasa Indonesia fonem t dibaca ‘te’ dan fonem v dibaca ‘ve’? Mungkin jika ingin membeli TV dan melafalkannya dengan ‘teve’ sudah pasti kita akan ditertawakan. Namun, ketika melafalkan nama stasiun TV pemerintah ‘TVRI’, kita melafalkannya dengan te-ve-er-i- bukan ti-vi-ar-ei-. Bagaimana menurut Anda, apakah benar? Hal ini sudah memasyarakat pada pengguna Bahasa Indonesia, suatu kesalahan yang sudah menjadi anggapan benar.

KFC dan A&W
Begitu juga dengan pelafalan dua merek dagang makanan dari luar negeri ini. KFC dan A&W. Kita melafalkan KFC dengan ka-ef-ci sesuai dengan pelafalan bahasa Inggris. Namun, ketika bertemu dengan merk dagang yang berbeda namun asalnya sama kita melafalkan A&W dengan pelafalan lidah melayu -a- dan –w-. Mengapa kita tidak melafalkannya sama seperti melafalkan KFC. Baca saja A&W dengan (Ei and doble yuu). Kini gilirannya, jika melafalkan demikian –ei and doubleyuu-, bisa jadi kita dibilang katrok oleh orang yang mendengarnya.

DVD dan VCD
Pelafalan DVD dan VCD Orang indonesia melafalkannya bukan (de-ve-de) tetapi (di-vi-di) Mengikuti pelafalan bahasa inggris. Begitu juga dengan VCD dilafalkan dengan vi-ci-di.

Handphone (HP)
Pada alat elektronnik yang satu ini pun kita juga salah kaprah. Mengapa pada pelafalannya kita tidak melafalkan dengan lidah Inggris. HP dibaca (eitch-pi). Tapi dalam kesehariannya kita melafalkan HP (hape). Bagaimana menurut Anda?

Tetapi walaupun demikian, tidak semua pelafalan dalam bahasa indonesia yang diserap dari bahasa asing menjadi salah kaprah. Satu contoh yang tepat, computer yang dalam bahasa Inggris dibaca –kompiyuterr-, tetapi dalam bahasa Indonesia diserap komputer, pelafalannya pun menjadi komputer. Sesuai dengan lidah orang Melayu bukan?

Melihat adanya kesalah kaprahan yang terjadi, semoga kita tidak semakin manambah kesalahan yang sudah ada. Belajarlah dari kesalahan. Hal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab lembaga, badan, departemen atau sejenisnya yang menangani masalah kebahasaan, tetapi ini juga menjadi masalah kita sebagai masyarakat pengguna bahasa Indonesia. Untuk ke depannya semoga dalam proses penyerapan bahasa asing kita tidak salah kaprah lagi.


Sumber: http://netsains.com
Oleh : M. Purna Dewansyah Saputra

Si Cantik Dan Si Buruk Rupa

Konon, di sebuah negeri nun jauh di sana, hidup seorang pedagang yang kaya raya. Namun demikian, ia mempunyai enam putera dan enam puteri yang terbiasa mendapatkan segala sesuatu yang mereka inginkan, dan ia tahu bahwa ia tak kesulitan untuk memenuhinya. Tapi serangkaian nasib sial menimpa kepada mereka. Suatu hari rumah mereka kebakaran sampai rata dengan tanah, begitu juga dengan perabot-perabotnya yang mewah, buku-buku, lukisan-lukisan, emas, perak dan semua benda berharga lainnya yang tersimpan di dalamnya. Kemudian ayahnya tiba-tiba kehilangan semua perahu yang ia miliki di laut, karena perampokan, karam atau kebakaran. Seolah-olah musibah itu belum cukup, ia mendengar bahwa para pegawainya yang ada di negara-negara yang jauh, yang telah ia percayai, terbukti tidak jujur semua. Dan akhirnya dari kekayaan yang melimpah ruah, ia jatuh miskin yang paling mengenaskan.



Semua yang ia miliki tinggal sebuah rumah kecil di suatu tempat terpencil jauh dari kota. Pertama anak-anak perempuannya mengharapkan teman-temannya, yang begitu banyak saat mereka kaya, mau mengijinkan mereka untuk tinggal di rumah-rumah mereka, tapi mereka segera tahu bahwa mereka ditinggal sendirian. Para bekas temannya bahkan menghubungkan nasib malang keluarganya dengan pemborosan anak-anak perempuannya dan tidak menunjukkan niat mereka untuk memberikan bantuan.

Maka tak ada pilihan lain bagi mereka selain berangkat ke pondokan mereka, yang berdiri di tengah-tengah sebuah hutan yang lebat. Mereka terlalu miskin untuk mempunyai pembantu, dan gadis-gadis itu harus bekerja keras; sementara anak-anak lelakinya, demi tugasnya sendiri, mengolah sawah untuk mencari nafkah. Berpakaian kasar, dan hidup dengan cara yang paling sederhana, gadis-gadis itu tak pernah berhenti merindukan kemewahan dan kesenangan kehidupan mereka sebelumnya. Hanya si gadis bungsu yang mencoba tegar dan ceria.

Ia merasa sedih sebagaimana orang lain bilamana nasib malang menimpa ayahnya, tapi segera menemukan keceriaan alaminya. Ia mulai bekerja membuat segalanya dengan sebaik-baiknya, untuk menyenangkan ayahnya dan saudara-saudara laki-lakinya sebaik yang ia dapat dan untuk membujuk kakak-kakak perempuannya untuk bergabung dengannya dalam berdansa dan menyanyi. Tapi mereka tidak mau berbuat apa-apa dan, ia tidak sesedih mereka sendiri, mereka menyatakan bahwa kehidupan mereka yang mengenaskan adalah cocok bagi dirinya. Tapi sesungguhnya ia lebih cantik dan lebih cerdas daripada mereka. Sungguh, ia begitu cantik dan ia selalu Si Cantik.

Setelah dua tahun, ayahnya menerima kabar bahwa salah satu kapalnya, yang ia yakini telah hilang, telah tiba dengan selamat dengan muatan yang banyak sekali. Seketika semua anak laki-laki dan perempuannya mengira bahwa kemiskinan mereka telah berakhir dan ingin berangkat secara langsung ke kota; tapi ayah mereka, yang lebih bijaksana, memohon mereka untuk menunggu sebentar.

Hanya si bungsu merasa ragu bahwa mereka akan segera menjadi sekaya dulu lagi seperti sebelumnya. Mereka semua menuntut kepada ayahnya untuk dibelikan perhiasan-perhiasan permata dan pakaian-pakaian yang tentu saja membutuhkan uang banyak untuk membelinya; hanya Si Cantik saja yang tidak menuntut apa-apa. Ayahnya, setelah memperhatikannya diam, berkata, "Dan apa yang kau inginkan dari ayah, Si Cantik?"

"Satu hal yang aku ingin dari ayah adalah melihat ayah pulang dengan selamat," jawabnya.

Tapi jawaban ini mengganggu kakak-kakaknya, yang mengira ia sedang mempersalahkan mereka karena telah meminta barang-barang yang sangat mahal ini. Namun demikian, ayahnya, sangat senang, dan ia mendesaknya untuk memilih sesuatu.

"Baiklah, Ayahku sayang," katanya, "karena kau memaksanya, aku harap kau mau membawakan aku bunga mawar. Aku belum pernah melihatnya lagi semenjak kita pindah ke sini, dan aku sangat menyukainya."

Si saudagar itu berangkat, hanya untuk menemukan bahwa mantan kawan-kawan kerjanya, yang menyangka dirinya telah mati, telah membagi-bagi barang muatannya di antara mereka sendiri. Setelah ena bulan mengalami kesulitan dan terlunta-lunta ia mendapati dirinya semiskin saat ketika ia memulai perjalanannya. Malangnya lagi, ia pulang ke rumah selama badai salju yang mengerikan. Menjelang saat ia berada dalam beberapa mil dari rumahnya ia hampir mati kelelahan dan kedinginan. Meskipun ia tahu bahwa masih membutuhkan waktu berjam-jam untuk menembus hutan itu, ia berketetapan hati untuk meneruskan perjalanan. Tapi akhirnya ia kemalaman, dan salju yang tebal serta embun beku yang sangat dingin tidak memungkinkan bagi kudanya untuk membawanya lebih jauh lagi.

Satu-satunya tempat berteduh yang dapat ia temukan hanyalah batang yang berlobang dari sebuah kayu besar, dan di sanalah ia meringkuk semalaman. Gonggongan serigala membuatnya tetap terjaga, dan ketika akhirnya pagi tiba, salju yang turun telah menutupi setiap jalan setapak, dan ia tidak tahu jalan mana yang harus diikuti.

Akhirnya ia menentukan jalannya sendiri, tapi jalan itu sangat terjal dan licin sehingga ia terjatuh lebih dari sekali. Sekarang jalan itu menuntunnya ke sebuah gang pohon-pohon jeruk yang berakhir pada semuah benteng yang megah. Benteng itu kelihatan aneh bagi si saudagar karena tidak ada salju yang turun di gang pohon-pohon itu, yang dipenuhi oleh bunga dan buah. Begitu ia sampai pada halaman yang pertama di depannya ia melihat sederetan anak tangga terbuat dari batu akik. Ia naik ke atas dn melewati beberapa kamar yang dihiasi dengan mewah sekali.

Kehangatan udara yang nyaman itu membuatnya kuat kembali, dan ia merasa sangat lapar; tapi kelihatannya tak ada seorangpun di seluruh istana yang besar dan megah ini. Di setiap tempat terasa sangat lengang, dan akhirnya, setelah lelah berkeliaran melalui kamar-kamar dan galeri-galeri kosong, ia berhenti dalam sebuah kamar yang lebih kecil daripada kamar-kamar lainnya, di mana sebuah perapian yang menyenangkan sedang menyala dan sebuah dipan terletak di depannya. Karena berpikir bahwa dipan itu dipersiapkan siapa saja yang diharapkan datang, ia duduk untuk menunggu sampai ia datang, dan dalam waktu yang amat singkat ia jatuh tertidur dengan nyenyaknya.

Ketika rasa lapar yang amat sangat membangunkannya setelah beberapa jam, ia masih sendirian; tapi sebuah meja kecil, dengan hidangan yang lezat di atasnya, telah diletakkan di dekatnya. Ia segera mulai makan, dengan harapan ia segera bisa mengucapkan terima kasih kepada tuan rumah yang sangat baik, siapapun ia. Tapi tak ada seorangpun yang muncul, dan bahkan setelah tidur panjangnya lainnya, yang setelah bangun ia merasa benar-benar segar kembali, tak ada tanda-tanda ada orang, meskipun hidangan sedap roti yang dan buah yang lezat-lezat ada di atas meja kecil di samping sikunya.

Karena rasa takutnya secara alamiah, ia semakin takut terhadap kesunyian itu, dan sekali lagi berniat hendak menyelidiki kamar-kamar itu; tapi sia-sia belaka, karena tidak ada tanda-tanda kehidupan di istana itu! Kemudian ia turun ke kebun, dan sekalipun saat itu musim dingin di mana-mana, di sini matahari tetap bersinar, burung-burung bernyanyi, dan bunga-bunga bermekaran dan udaranya begitu lembut dan sepoi-sepoi. Saudagar itu, karena merasa sangat gembira dengan apa yang ia lihat dan dengar, berkata kepada dirinya sendiri, "Semua ini pasti dimaksudkan untukku. Aku akan pergi sekarang juga dan membawa anak-anakku kemari untuk ikut merasakan semua kenikmatan ini."

Meskipun begitu dingin dan capek ketika ia mencapai benteng itu, ia telah mengambil kudanya untuk dibawah ke kandang dan memberinya makan. Sekarang ia berpikir bahwa ia akan menungganginya untuk perjalanan jauh ke rumahnya, dan ia turun ke jalan menuju kandang kuda itu. Jalan ini memiliki pagar mawar pada sisi kiri kanannya, dan si saudagar berpikir bahwa ia belum pernah melihat bunga-bunga yang indah sekali semacam ini. Bunga-bunga itu mengingatkan dirinya akan janjinya kepada Si Cantik, dan ia berhenti dan telah memetik satu tangkai untuk ia bawa kepada Si Cantik ketika ia dikagetkan oleh sebuah suara aneh di belakangnya. Setelah menoleh keliling, ia melihat seekor binatang buas yang sangat menakutkan.

"Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa kau boleh mengambil bunga-bungaku?" teriak si Buruk Rupa. "Apakah belum cukup aku telah melindungimu di dalam istanaku dan berbuat baik kepadamu? Beginikah caramu menunjukkan terima kasihmu, dengan mencuri bunga-bungaku! Kekurangajaranmu tak akan kubiarkan tanpa hukuman."

Si saudagar, merasa takut terhadap kata-kata yang penuh kemarahan ini, menjatuhkan mawar pembawa sial ini dan, setelah berlutut di hadapannya, ia menangis, "Ampuni aku, Tuan yang mulia. Saya benar-benar berterima kasih atas keramahtamahan tuan. Bunga ini begitu mentakjubkan sehingga saya tak bisa membayangkan bahwa Tuan akan merasa tersinggung karena saya mengambil barang kecil semacam bunga mawar ini."

Tapi kemarahan tidak reda dengan kata-katanya. "Kau telah siap dengan alasan-alasan dan rayuan," teriaknya. "Tapi itu tidak akan menyelamatkanmu dari kematian yang pantas kau terima."

Aduh, pikir si saudagar, jika saja anak perempuan si Si Cantik tahu betapa mawar yang ia minta telah mendatangkan bencana bagiku! Dan dalam keadaan putus asa ia mulai menceritakan semua nasib malangnya kepada si Si Buruk Rupa dan alasan perjalanannya, tak lupa menyebutkan permintaan Si Cantik. "Mungkin saya tidak bisa memenuhi semua permintaan anak-anak perempuanku," katanya. "Tapi saya kira paling tidak saya mungkin bisa membawakan Si Cantik mawar permintaannya. Saya mohon ampuni saya, karena Tuan lihat aku tidak bermaksud jahat."

Si Buruk Rupa berkata, nada kemarahannya telah berkurang, "Aku akan mengampunimu dengan satu syarat -- bahwa kau mau menyerahkan salah satu anak perempuanmu."

"Ah," teriak si saudagar, "jika aku cukup kejam untuk menyenangkan kehidupanku sendiri dengan mengorbankan salah satu anak perempuanku, alasan apa yang harus kulakukan untuk membawanya ke sini?"

"Tak ada," jawab si Si Buruk Rupa. "Jika ia benar-benar datang, maka ia harus datang dengan ikhlas. Bukan dengan syarat lainnya yang kuminta darinya. Lihatlah apakah salah satu anak perempuanmu cukup berani, dan cukup sayang kepadamu, untuk datang dan menyelamatkan nyawamu. Kelihatannya kau adalah orang yang jujur, maka aku akan mempercayaimu untuk pulang. Kau kuberi waktu satu bulan untuk mengetahui apakah salah satu anak perempuanmu akan datang kesini denganmu dan tetap tinggal di sini, sehingga kau bisa pergi bebas. Jika tidak ada yang mau, kau harus datang ke sini sendiri, dan kau menjadi milikku. Dan jangan membayangkan bahwa kau bisa bersembunyi dariku, karena jika kau tidak menepati ucapanmu aku akan datang menjemputmu!" tambah si Buruk Rupa geram.

Si saudagar menerima usulnya. Ia berjanji akan kembali pada waktu yang telah dijanjikan, dan kemudian, karena merasa cemas untuk bisa melepaskan diri dari hadapan si Si Buruk Rupa, ia minta ijin untuk berangkat sekarang. Tapi si Si Buruk Rupa menjawab bahwa ia tidak boleh pergi sampai hari berikutnya. "Kemudian kau akan bisa menemukan seekor kuda yang siap untukmu," katanya. "Sekarang pergi dan makanlah makan malammu dan tunggu perintah-perintahku."

Si saudagar, yang lebih merasa mati daripada hidup, kembali ke kamarnya, di mana makan malam yang paling lezat telah terhidang di atas meja kecil yang ditata di depan perapian yang menyala-nyala. Tapi ia terlalu takut untuk makan dan hanya mencicipi beberapa makanan saja, karena takut si Si Buruk Rupa akan marah jika ia tak mematuhi perintah-perintahnya. Ketika selesai makan, si Si Buruk Rupa mengingatkannya untuk mengingat perjanjian mereka dan mempersiapkan apa yang sesungguhnya diharapkan oleh anak perempuannya.

"Jangan bangun besuk pagi," tambahnya, "sampai kau melihat matahari terbit dan mendengar lonceng emas berbunyi. Kemudian kau dapatkan makan pagimu yang telah terhidang untukmu, dan kuda yang akan kau pakai siap di halaman. Ia juga akan membawamu kembali lagi bila kau dan anak perempuanmu datang ke sini sebulan lagi dari sekarang. Selamat jalan. Ambillah mawar buat Si Cantik, dan ingat janjimu!"

Si saudagar berbaring sampai waktu fajar. Kemudian, setelah makan pagi, ia pergi memetik mawar untuk Si Cantik dan naik kudanya, yang membawanya pergi begitu cepatnya sehingga dalam waktu sekejap ia sudah tak melihat istana itu. Ia masih terselimuti dengan pikiran-pikiran muram begitu ia tiba di depan pondokannya.

Anak-anaknya, baik yang laki-laki maupun yang perempuan, yang merasa cemas karena lamanya ia pergi, segera berlari menemuinya, sangat ingin tahu hasil dari perjalanannya yang, setelah melihatnya naik kuda yang sangat gagah dan terbungkus dengan mantel yang mahal, mereka kira sangat menggembirakan. Tapi semula ia menyembunyikan cerita yang sebenarnya kepada mereka, dengan sedih hanya mengatakan kepada Si Cantik saat ia memberikan mawarnya: "Inilah apa yang kau minta aku bawakan untukmu. Kecil memang, kau tahu berapa ini harganya."

Sekarang ia menceritakan kepada mereka petualangan-petualangannya mulai dari awal hingga akhir, dan kemudian mereka semua sangat sedih. Gadis-gadis itu mengeluh dengan keras terhadap harapan-harapannya yang tak kesampaian, dan anak-anak laki-lakinya menyatakan agar ayahnya seharusnya tak usah kembali ke benteng yang menyeramkan itu. Tapi ia mengingatkan mereka bahwa ia telah berjanji untuk kembali. Kemudian gadis-gadis itu sangat marah dengan Si Cantik dan berkata nasib malang ini adalah karena kesalahannya. Jika ia meminta sesuatu yang masuk akal nasib malang ini tak akan pernah terjadi.

Si Cantik yang malang, yang sangat sedih, berkata kepada mereka, "Aku telah menyebabkan nasib malang ini, tapi siapa yang bisa menduga bahwa untuk minta sekuntum mawar saja bisa menyebabkan kesengsaraan yang besar ini? Tapi karena aku yang menyebabkan kesengsaraan ini maka hanya aku sajalah yang harus menjalani penderitaan ini. Oleh karena itu aku akan pergi ke sana bersama ayahku untuk menepati janjinya."

Semula tak seorangpun mau mendengarnya. Ayahnya dan saudara-saudara laki-lakinya, yang sangat menyayanginya, menyatakan bahwa mereka tidak akan membiarkan dirinya pergi ke sana. Tapi Si Cantik tegas. Saat waktunya semakin dekat, ia membagi kepunyaannya yang hanya sedikit kepada saudara-saudara perempuannya dan mengatakan salam perpisahan terhadap segala sesuatu yang ia sayangi. Ketika hari yang mengenaskan tiba ia dan ayahnya naik ke atas kuda yang telah membawanya kembali. Kuda itu kelihatan terbang bukannya berlari, tapi begitu halus sehingga Si Cantik tidak merasa takut. Sungguh, ia pasti menikmati perjalanan tersebut jika ia tidak merasa takut apa yang mungkin terjadi di akhir perjalanan ini. Ayahnya berusaha membujuknya untuk kembali pulang bersamanya, tapi sia-sia saja.

Selagi mereka berkuda malam mulai tiba. Kemudian, sungguh heran mereka, berbagai kembang api yang sangat besar menyala di depan mereka dan semua hutan itu seluruhnya menjadi terang benderang. Bahkan mereka merasakan kehangatan yang menyenangkan, meskipun sebelumnya sangat dingin membe-kukan. Mereka tiba pada gang pohon-pohon jeruk dan melihat istana itu dipasangi lampu-lampu yang terang benderang mulai dari atap hingga lantai, dan musik terdengar lembut dari halaman istana.

"Si Buruk Rupa pasti sangat lapar," kata Si Cantik, mencoba tertawa, "jika ia memberikan sambutan yang luar biasa ini atas kedatangan mangsanya." Tapi, meskipun ia sangat cemas, ia mengagumi semua benda yang ia lihat terlihat mentakjubkan.

Ketika mereka turun dari kuda, ayahnya membimbingnya ke sebuah kamar kecil. Di sini ia menemukan sebuah perapian yang crackling dan meja yang dipenuhi dengan makan malam yang sangat lezat.

Si Cantik, yang sekarang berkurang rasa takutnya karena telah melewati begitu banyak kamar dan tidak melihat Si Buruk Rupa, sangat ingin untuk mulai makan, karena perjalanan panjangnya telah membuatnya sangat lapar. Tapi mereka tak bisa menghabiskan makannya begitu mendengar suara kaki Si Buruk Rupa datang terdengar sedang mendekat, dan Si Cantik merangkul ayahnya ketakutan, yang semuanya menjadi lebih besar begitu ia melihat betapa menyeramkannya ia. Tapi ketika Si Buruk Rupa muncul, meskipun ia gemetar saat melihatnya, ia berusaha keras untuk menyembunyikan ketakutannya, dan menghadapinya dengan penuh hormat.

Sikapnya ini akhirnya membuat Si Buruk Rupa senang. Setelah melihatnya Si Buruk Rupa berkata, dengan nada yang mungkin bisa merontokkan hati yang paling berani sekalipun, meskipun ia tidak tampak marah, "Selamat malam, orang tua. Selamat malam, Si Cantik."

Si saudagar terlalu takut untuk menjawabnya, tapi Si Cantik menjawabnya dengan manis, "Selamat malam, Si Buruk Rupa."

"Apakah kau datang atas kemauanmu sendiri?" tanya Si Buruk Rupa. "Apakah kau mau tinggal di sini setelah ayahmu pergi?"

Si Cantik menjawab dengan berani bahwa ia sangat siap untuk tetap tinggal di sana.

"Aku sangat senang dengan kamu," kata Si Buruk Rupa. "Kau telah datang atas kemauanmu sendiri, jadi kau bisa tinggal di sini. Sedangkan kau, hai orang tua," tambahnya, sambil menoleh kepada si saudagar, "pulanglah besuk pagi saat matahari terbit. Ketika lonceng berbunyi, segeralah bangun dan makan pagi, dan kau akan mendapati kuda yang sama yang menunggumu untuk mengantarmu pulang."

Kemudian sambil menoleh ke Si Cantik, ia berkata, "Ajak ayahmu ke kamar sebelah, dan bantulah ia memilih hadiah-hadiah untuk saudara-saudara laki-laki dan saudara-saudara perempuanmu. Kau akan menemukan dua kopor besar di sana; isilah kopor-kopor itu sebisamu. Kau hanya harus mengirimi mereka suatu yang sangat berharga sebagai kenang-kenangan." Kemudian ia pergi.

Si Cantik mulai berpikir dengan penuh kecemasan akan keberangkatan ayahnya, tapi mereka pergi ke kamar sebelah dan sangat heran dengan kekayaan-kekayaan yang mereka temukan. Ada pakaian-pakaian yang luar bisa yang cocok untuk seorang ratu, dan ketika Si Cantik membuka peti-peti itu ia terperangah oleh permata-permata yang indah permai yang bertumpuk-tumpuk di atas setiap rak. Setelah memilih jumlah yang banyak sekali bagi saudara-saudara perempuannya, ia membuka peti yang terakhir dan menemukan bahwa kotak ini penuh dengan emas.

"Saya kira, Ayah," katanya, "karena emas akan lebih berguna bagimu, sebaiknya kita keluarkan benda-benda lainnya dan memenuhi kopor-kopor itu dengannya."

Maka mereka mengisi kopor-kopor itu dengan emas, tapi semakin banyak ia memasukkannya, kelihatannya semakin banyak ruang yang ada, dan akhirnya mereka memasukkan lagi semua permata dan pakaian yang telah mereka keluarkan, dan Si Cantik bahkan menambahkan lebih banyak permata sedapat yang ia bawa. Bahkan kemudian kopor-kopor itu tidak terlalu penuh, tapi terlalu berat sehingga seekor gajahpun tak mampu membawanya!

"Si Buruk Rupa sedang memperolok-olok kita!" teriak si saudagar. "Ia berpura-pura memberi kita semua benda ini, karena tahu bahwa aku tak kuat membawanya pergi."

"Kita tunggu dan lihat saja," jawab Si Cantik. "Aku tak yakin ia menipu kita. Semua yang dapat kita lakukan adalah mengikat barang-barang itu dan mempersiapkannya."

Maka demikianlah mereka mengikat dan mempersiapkan barang bawaan itu dan kembali ke kamar kecil, di mana mereka menemukan makan pagi telah terhidangkan. Si saudagar makan dengan lahapnya, karena kedermawanan Si Buruk Rupa membuatnya yakin bahwa ia mungkin dapat datang kembali dengan segera dan melihat Si Cantik. Tapi Si Cantik merasa yakin bahwa ayahnya akan meninggalkannya untuk selamanya, maka ia sangat sedih ketika lonceng itu berbunyi dengan keras.

Mereka turun ke halaman, di mana dua ekor kuda sedang menanti, satu ekor dimuati dengan dua buah kopor, sedang seekor lainnya untuk ia naiki. Mereka mengais-ngais tanah tak sabar untuk berangkat, dan si saudagar menyuruh Si Cantik untuk segera mengucapkan salam perpisahan. Segera setelah ia naik, kuda-kuda itu melesat secepat kilat sehingga dalam waktu sekejab Si Cantik sudah tidak bisa melihat ayahnya. Kemudian Si Cantik mulai menangis dan berjalan dengan sedih ke kamarnya sendiri.

Tapi tak lama kemudian ia merasa sangat ngantuk, dan karena tak ada yang lebih baik untuk ia kerjakan, ia berbaring dan seketika itu juga ia tertidur. Dan kemudian ia bermimpi bahwa ia sedang berjalan dekat sebuah anak sungai yang dibatasi dengan pepohonan, dan sedang meratapi nasib sedihnya, ketika seorang Pangeran, yang lebih tampan daripada siapapun yang pernah ia lihat dan dengan suara yang langsung menusuk hatinya, datang dan berkata, "Ah, Si Cantik, kau tak semalang yang kau duga. Di sini kau akan memperoleh ganjaran atas semua penderitaanmu di tempat lainnya. Semua keinginanmu akan terpenuhi. Hanya berusahalah untuk belajar siapa aku, apapun rupa penyamaranku, karena aku sangat mencintaimu, dan dalam membuatku bahagia kau akan menemukan kebahagiaanmu sendiri. Berhati jujurlah seperti kecantikanmu, dan tak ada yang tersisa untuk kita inginkan."

"Apa yang dapat kulakukan, Pangeran, untuk membuatmu bahagia?" tanya Si Cantik.

"Hanya berterima kasih saja," jawabnya, "dan jangan terlalu mempercayai kedua matamu. Yang paling penting, jangan tinggalkan aku sampai kau menyelamatkanku dari kemalanganku yang menyengsarakan ini."

Saat mimpinya terus berlanjut ia merasakan dirinya sendiri berada di dalam sebuah kamar dengan seorang wanita yang agung nan cantik, yang berkata kepadanya, "Si Cantik sayang, berusahalah untuk tidak menyesali semua yang telah kau tinggalkan; kau ditakdirkan bernasib yang lebih baik. Hanya jangan biarkan dirimu sendiri tertipu oleh hal-hal yang tampak secara lahiriah saja."

Si Cantik merasakan mimpinya begitu menyenangkan sehingga ia tidak buru-buru bangun, tapi sekarang jam itu membangunkannya dengan memanggil namanya dua belas kali dengan lembut. Kemudian ia bangkit dan mendapati meja riasnya tertata dengan segala sesuatu yang mungkin dapat ia inginkan, dan ketika is berpakaian, ia mendapati makan petang sedang menunggunya di kamar sebelah. Tapi makan malam itu tak berlangsung lama bila seseorang makan sendirian, dan ia segera duduk dengan hati senang di sudut sebuah sofa dan mulai berpikir tentang Pangeran yang ganteng yang telah ia lihat dalam mimpinya.

"Katanya aku bisa membuatnya bahagia," kata Si Cantik kepada dirinya sendiri. "Kalau begitu, tampaknya Si Buruk Rupa yang menyeramkan itu menjadikannya sebagai tahanan. Bagaimana aku bisa membebaskan dirinya? Aku heran mengapa mereka berdua berkata kepadaku untuk tidak mempercayai hal-hal yang tampak secara lahiriah? Tapi, bagaimanapun juga, ini hanyalah mimpi, jadi mengapa aku harus repot-repot dengan diriku sendiri? Lebih baik aku mencari sesuatu untuk menyenangkan diriku sendiri."

Ia mulai menyelidiki sebagian kamar dalam istana tersebut. Kamar pertama yang ia masuki dipasang cermin berjajar-jajar. Si Cantik melihat dirinya sendiri tercermin pada setiap sisi dan berpikir bahwa ia belum pernah melihat sebuah kamar yang indah semacam ini. Kemudian matanya tertuju pada sebuah gelang yang tergantung di tempat lilin, dan saat mengambilnya dari atas ia sangat terkejut karena pada gelang itu terdapat sebuah potret pujaan hatinya yang masih belum ia ketahui, persis seperti yang ia lihat dalam mimpinya. Dengan sangat senang ia mengenakan gelang itu pada lengannya dan terus pergi ke sebuah galeri lukisan, di mana ia segera menemukan sebuah potret Pangeran tampa yang sama, yang berukuran sebesar orang hidup dan dilukis dengan baik sehingga saat ia mengamatinya lukisan itu kelihatan tersenyum ramah kepadanya.

Akhirnya setelah memaksakan dirinya meninggalkan potret itu, ia masuk ke sebuah kamar yang berisi peralatan musik terkena sinar matahari, dan di sini ia menyenangkan dirinya lama sekali dengan mencoba alat-alat itu. Pada saat itu hari semakin petang, dan lampu-lampu lilin dalam berbagai tempat lilin yang terbuat dari intan dan batu delima menyala dengan sendirinya dalam setiap kamar.

Si Cantik mendapati makan malamnya tersaji persis pada saat ia ingin makan, tapi ia tidak melihat siapapun atau mendengar suara apapun dan, meskipun ayahnya telah mengingatkannya ia akan sendirian, ia mulai merasakannya agak membosankan.

Sekarang ia mendengar Si Buruk Rupa datang dan dengan gemetaran ia bertanya-tanya dalam hati apakah ia bermaksud hendak memangsanya sekarang. Namun demikian, sama sekali ia tidak kelihatan buas, dan hanya berkata dengan suara keras:

"Selamat malam, Si Buruk Rupa."

Ia menjawab dengan riang dan berusaha menyembunyikan ketakutannya. Si Buruk Rupa bertanya bagaimana ia telah menyenangkan dirinya sendiri, dan ia mengatakan kepadanya tentang semua kamar yang telah ia lihat. Kemudian Si Buruk Rupa bertanya kepadanya apakah ia kira ia bisa bahagia di istananya; dan Si Cantik menjawab bahwa segala sesuatunya kelihatan begitu indah sehingga sangat sulit baginya untuk menyenangkan Si Buruk Rupa apakah ia tidak dapat bahagia. Setelah bercakap-cakap satu jam Si Cantik mulai berpikir bahwa Si Buruk Rupa tidaklah begitu menakutkan seperti yang ia duga. Kemudian ia bangkit hendak pergi dan berkata dengan suaranya yang keras: "Apakah kau mencintaiku, Si Cantik? Maukah kau menikah dengaku,?"

"Oh, apa yang harus kukatakan?" teriak Si Buruk Rupa, karena ia takut untuk membuat Si Buruk Rupa marah karena ditolak.

"Katakan ya atau tidak tanpa rasa takut," jawabnya.

"Tidak, tidak, Si Buruk Rupa," kata Si Cantik segera.

"Karena kau tidak mau, selamat malam, Si Cantik," katanya.

Dan ia menjawab, "Selamat malam, Si Buruk Rupa," sangat senang karena penolakannya tidak membuatnya marah. Setelah ia pergi Si Cantik segara tiur dan bermimpi tentang Pangeran yang belum ia kenal itu.

Ia merasa sang Pangeran datang dan berkata, "Ah, Si Cantik! Mengapa kau begitu tidak baik terhadapku? Aku takut aku ditakdirkan tidak bahagia selama waktu yang lagi lagi."

Kemudian mimpinya berubah, tapi sang Pangeran yang mempesona itu selalu ada di semua mimpinya. Ketika pagi tiba ia memutuskan untuk menyenangkan dirinya sendiri di taman. Ia heran mendapati setiap tempat terasa tidak asing bagi dirinya, dan sekarang ia datang ke anak sungai dan pohon-pohon myrtle di mana ia pertama kali bertemu dengan sang Pangeran dalam mimpinya. Itu membuatnya berpikir lebih banyak daripada sebelumnya bahwa ia pasti sedang ditawan oleh si Si Buruk Rupa.

Ketika sudah lelah ia kembali ke istana dan mendapati sebuah kamar baru yang penuh dengan bahan-bahan untuk segala macam kerajinan -- untuk membuat ikatan-ikatan simpul dan sutera untuk dibuah menjadi bunga. Di sana juga terdapat sebuah kandang burung yang besar yang penuh dengan burung-burung yang langka, yang begitu jinak sehingga mereka terbang kepada Si Cantik segera setelah mereka melihatnya dan bertengger di atas kedua pundak dan kepalanya.

"Burung-burung kecil yang manis," katanya, "betapa aku ingin sangkarmu lebih dekat dengan kamarku sehingga aku bisa sering mendengarmu menyanyi!" Setelah berkata begitu, ia membuka sebuah pintu dan alagkah senangnya ia tahu bahwa pintu itu mengarah pada kamarnya sendiri, meskipun ia berpikir bahwa kamar itu berada di sisi lain dari istana itu.

Dalam sebuah kamar yang lebih jauh lagi terdapat burung-burung lebih banyak lagi, ada burung-burung beo dan kakak tua yang bisa bicara, dan mereka semua menyambut Si Cantik dengan namanya. Sungguh, ia rasa burung-burung itu begitu menyenangkan sehingga ia mengambil satu atau dua ekor ke kamarnya, dan mereka berbicara dengannya ketika ia sedang makan malam. Sebagaimana biasa Si Buruk Rupa mendatanginya untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sama seperti yang ia tanyakan sebelumnya, dan kemudian dengan ucapan selamat malam dengan suaranya yang keras ia meninggalkan tempat itu, dan Si Cantik pergi tidur untuk bermimpi tentang sang Pangerannya yang misterius.

Hari-hari berlalu dengan cepat dalam berbagai kesenangan yang berbeda-beda, dan setelah beberapa saat Si Cantik mendapati satu hal lain yang aneh yang sering membuatnya senang ketika ia bosan sendirian. Ada satu kamar yang belum ia perhatikan secara khusus; kamar itu begitu kosong, kecuali di bawah masing-masing jendela berdiri sebuah kursi yang sangat nyaman. Pertama kali ia melihat keluar dari sebuah jendela, ini tampak sebuah tabir hitam yang menghalanginya untuk melihat sesuatu di baliknya. Tapi kali kedua ia pergi ke kamar tersebut kebetulan ia merasa lelah dan duduk di salah satu kursi itu. Seketika itu juga tabir itu tergulung ke samping, dan sebuah pantomim yang begitu menyenangkan dipertunjukkan di hadapannya. ada tari-tarian dan lampu-lampu berwarna-warni, musik dan pakaian-pakaian indah, dan itu semua begitu menyenangkan sehingga Si Cantik sangat gembira. Setelah itu ia mencoba tujuh jendela lainnya secara bergantian, dan selalu ada hiburan yang baru dan mengagumkan untuk di lihat dari masing-masing jendela, sehingga Si Cantik tidak pernah dapat merasa kesepian lagi. Setiap malam setelah makan malam Si Buruk Rupa datang menemuinya, dan selalu sebelum mengucapkan selamat tidur ia mengajukan pertanyaan dengan suaranya yang mengerikan: "Si Buruk Rupa, maukah kau menikah denganku?"

Sekarang Si Cantik lebih memahaminya, kapan saja ia menjawab, "Tidak, Si Buruk Rupa," ia pergi dengan sangat sedih. Mimpi-mimpi indahnya tentang sang Pangeran muda yang tampan segera membuatnya melupakan Si Buruk Rupa yang malang, dan satu-satunya hal yang mengganggu pikirannya adalah kata-kata yang diucapkan kepada dirinya untuk tidak mempercayai wujud lahirnya, untuk membiarkan hatinya dan bukan kedua matanya yang membimbing dirinya. Bila ia ingat akan hal ini, ia tak habis bisa mengerti.

Demikianlah segala sesuatu berjalan selama waktu yang lama, sampai akhirnya, walaupun bahagia sebagaimana biasa, Si Cantik rindu untuk melihat ayah dan saudara-saudaranya. Satu malam, karena melihatnya sangat sedih, Si Buruk Rupa bertanya kepadanya apa yang membuatnya ia bersedih. Si Cantik sudah tidak takut lagi dengannya. Sekarang ia tahu bahwa ia benar-benar lembut meskipun bentuknya yang menakutkan dan suaranya yang mengerikan. Maka ia menjawab bahwa ia sangat ingin melihat rumahnya sekali lagi. Setelah mendengar keinginan Si Cantik, Si Buruk Rupa kelihatan sangat sedih dan menjerit mengenaskan, "Ah, Si Cantik, tega benar kau meninggalkan Si Buruk Rupa yang malam seperti ini? Apa lagi yang kau inginkan untuk membuatmu bahagia? Apakah karena kau membenciku sehingga kau ingin melarikan diri?"

"Bukan, Si Buruk Rupa sayang," jawab Si Cantik lembut, "Aku tidak membencimu, dan aku akan sangat menyesal untuk tidak melihatmu lagi, tapi aku rindu untuk menjenguk ayahku lagi. Ijinkan aku pergi hanya dua bulan saja, dan aku berjanji untuk datang lagi kepadamu dan tinggal di sini selama sisa hidupku."

Si Buruk Rupa, yang mengeluh sedih selagi ia berbicara, menjawab, "Aku tak bisa menolak apapun yang kau minta, meskipun aku harus mengorbankan nyawaku. Ambil empat kotak yang akan kau temukan dalam kamar sebelah kamarmu sendiri dan isilah kotak-kotak itu dengan apa saja yang kau inginkan untuk kau bawa. Tapi ingat janjimu dan kembalilah ketika dua bulan usia, karena jika kau tak kembali pada waktunya kau akan mendapati Si Buruk Rupa-mu yang setia telah mati. Kau tak perlu lagi sebuah kereta untuk membawaku kembali. Hanya ucapkan selamat tinggal kepada ayah dan saudara-saudaramu pada malam sebelum kau pergi dan, ketika kau pergi tidur, pakailah cincin ini pada jarimu dan katakan dengan mantap, 'Aku ingin kembali ke istanaku dan melihat Si Buruk Rupa-ku lagi.' Selamat malam, Si Buruk Rupa. Jangan takut apa-apa, tidurlah dengan tenang, dan tak lama lagi kau akan melihat keluargamu lagi."

Segera setelah Si Cantik sendirian ia cepat-cepat mengisi kotak-kotak itu dengan semua benda-benda langka dan berharga yang ia lihat di sekitarnya, dan baru ketika ia merasa lelah menumpuk benda-benda itu, kotak-kotak kelihatan penuh. Kemudian ia pergi tidur, tapi hampir-hampir tak bisa tidur karena senangnya. Akhirnya ketika ia mulai bermimpi tentang sang Pangerannya yang ia cintai ia merasa sedih melihatnya terlentang di atas sebuah tebing berumput, sedih dan lemah, dan hampir-hampir tidak seperti dirinya sendiri.

"Ada apa?" teriaknya.

Tapi ia melihatnya dengan penuh celaan dan berkata, "Bagaimana kau bisa bertanya begitu, hai orang kejam? Mungkin kau akan meninggalkanku yang membuatku mati?"

"Ah, jangan bersedih seperti itu!" teriak Si Cantik. "Aku hanya ingin meyakinkan ayahku bahwa aku selamat dan bahagia. Aku telah berjanji pada Si Buruk Rupa dengan penuh keyakinan bahwa aku akan kembali, dan aku tahu bahwa ia akan mati merana jika aku tidak memenuhi janjiku!"

"Apa itu artinya buat kamu?" tanya sang Pangeran. "Sungguh kau tak mau peduli?"

"Sungguh aku menjadi orang yang tak tahu berterima kasih bila aku tidak menaruh peduli kepada Si Buruk Rupa yang baik semacam ini," teriak Si Cantik dengan marah. "Aku rela mati untuk menyelamatkannya dari kepedihan. Aku yakinkan ku ini bukan kesalahannya kenapa ia bertampang buruk."

Saat itu juga suara aneh membangunkannya -- seseorang sedang berbicara tak begitu jauh dari dirinya. Setelah membuka kedua matanya ia mendapati dirinya sendiri dalam sebuah kamar yang belum pernah ia lihat, yang sungguh tak semewah kamar-kamar yang telah ia lihat di istana Si Buruk Rupa. Di mana ia berada? Ia bangkit dan segera berdandan dan segera melihat kotak-kotak yang ia kemasi malam sebelumnya ada semua di kamar itu. Tiba-tiba ia mendengar suara ayahnya dan berlari keluar menyambutnya dengan gembira. Saudaran-saudara laki-laki dan perempuannya heran akan kemunculannya, karena mereka tak pernah menyangka untuk melihatnya lagi. Si Cantik bertanya kepada ayahnya tentang arti mimpi-mimpinya yang aneh dan mengapa sang Pangeran dalam mimpi-mimpi itu terus-menerus memintanya untuk tidak mempercayai hal-hal yang kelihatan dari luarnya saja. Setelah lama merenung ia menjawa, "Kau sendiri mengatakan kepadaku bahwa Si Buruk Rupa, sekalipun ia kelihatannya menakutkan, sangat mencintaimu dan layak menerima cintamu dan terima kasihmu atas semua kelembutan dan kebaikan hatinya. Aku kira sang Pangeran pasti menginginkanmu untuk memahami bahwa kau harus memberikan imbalan kepada Si Buruk Rupa dengan melakukan apa yang ia inginkan darimu, betapapun ia bertampang jelek."

Si Cantik tak bisa menyangkal hal itu mungkin terjadi; namun, ketika ia ingat Pangerannya yang ia cintai yang begitu tampan, ia sama sekali tidak ingin menikah dengan Si Buruk Rupa. Bagaimanapun juga, selama dua bulan tidak perlu memutuskan kecuali dapat menikmati dirinya sendiri bersama keluarganya. Meskipun sekarang mereka kaya, dan hidup di kota lagi dan memiliki banyak kenalan, Si Cantik merasa tidak ada yang membuatnya sangat senang. Ia sering ingat istana, di mana ia begitu bahagia, khususnya karena di rumah ia tak pernah bermimpi tentang Pangerannya yang ia sayangi, dan ia sangat sedih tanpa dirinya.

Dan saudara-saudara perempuannya sangat terbiasa tanpa dirinya, dan ia bahkan merasa bahwa mereka kelihatan agak kurang cocok dengan dirinya. Maka ia tidak begitu sedih ketika waktu dua bulan telah lewat kecuali terhadap ayahnya dan saudara-saudara laki-lakinya. Ia merasa malas untuk mengucapkan selamat tinggal kepada mereka. Setiap hari ia bangun ia bermaksud mengatakannya nanti malam, dan ketika malam tiba ia menundanya lagi, sampai akhirnya ia bermimpi sedih sekali yang membantunya memutuskan pikirannya.

Dalam mimpi ia sedang berjalan-jalan di suatu jalan setapak yang sepi di taman-taman istana, ketika ia mendengar suara-suara erangan. Setelah berlari dengan cepat untuk mengetahui apa yang terjadi, ia mendapati Si Buruk Rupa terlentang menghadap ke atas, kelihatan sedang sekarat. Ia mencela Si Cantik dengan suara lemah sekali karena telah menyebabkan dirinya amat sangat sedih, dan pada saat yang sama seorang wanita bangsawan muncul dan berkata sangat berang: "Ah, Si Cantik, lihat apa yang terjadi ketika orang-orang tidak menepati janji-janji mereka! Jika kau menunda sati hari lagi, kau akan mendapatinya telah mati."

Si Cantik begitu takut terhadap mimpinya sehingga pagi itu juga ia berpamitan kepada ayahnya dan saudara-saudaranya, dan ia segera setelah ia di tempat tidur ia mengenakan cincin yang telah diberikan Si Buruk Rupa pada jarinya, dan dengan mantap ia berkata, "Aku ingin kembali ke istanaku dan melihat Si Buruk Rupa-ku lagi."

Seketika itu juga ia tertidur, dan hanya bangun karena mendengar bunyi jam, "Si Cantik, Si Cantik," dua belas kali dalam suaranya yang seperti musik, yang mengatakan kepadanya bahwa ia benar-benar berada di istana lagi. Segala sesuatu kelihatan persis seperti semula, dan burung-burungnya sangat senang melihatnya, tapi Si Cantik berpikir bahwa ia belum pernah tahu satu hari yang panjang semacam ini. Ia begitu ingin untuk melihat Si Buruk Rupa lagi sehingga ia merasa seolah-olah waktu makan malam tidak pernah tiba.

Tapi saat makan malam tiba, Si Buruk Rupa tidak muncul. Setelah mendengarkan dan menunggu cukup lama, ia berlari turun ke taman untuk mencarinya. Si Cantik yang malang berlari naik turun jalan-jalan setapak dan gang-gang, sambil memanggil-manggil namanya. Tak ada seorangpun yang menjawab, dan tak ada jejaknya yang dapat ia temukan. Akhirnya, Si Cantik tahu bahwa ia sedang berdiri di seberang jalan setapak yang teduh yang telah ia lihat dalam mimpi. Ia berlari turun ke arah tempat itu, dan, setelah merasa cukup yakin, di sanalah Si Buruk Rupa berada -- tidur, begitulah pikir Si Cantik. Begitu senangnya telah mendapatkannya, ia berlari ke atas dan membelai rambutnya, tapi betapa takutnya ia karena Si Buruk Rupa tidak bergerak atau membuka matanya. "Oh, ia mati, dan ini salahku!" teriak Si Cantik, menangis pilu.

Tapi kemudian, setelah melihatnya lagi, ia tahu bahwa ia masih bernafas. Dengan cepat ia mengambil air dari mata air yang paling dekat, ia menciprati wajahnya, dan betapa senang hatinya ia mulai hidup lagi. "Oh, Si Buruk Rupa, betapa kau telah membuatku takut!" teriaknya. "Aku tak pernah tahu betapa aku sangat mencintaimu baru sekarang ini, ketika aku takut aku terlalu terlambat untuk menyelamatkan nyawamu."

"Dapatkah kau mencintai makhluk jelek semacam aku ini?" tanya Si Buruk Rupa lemah. "Ah, Si Cantik, kau datang tepat pada waktunya. Aku sedang sekarat karena aku kira kau telah melupakan janjimu. Tapi kembalilah dan beristirahatlah, dan aku akan segera melihatmu lagi."

Si Cantik, yang setengah mengira bahwa ia akan marah terhadap dirinya, merasa yakin akan suaranya yang lembut dan kembali ke istana. Dan setelah beberapa saat Si Buruk Rupa masuk untuk mendatanginya dan berbicara tentang waktu yang telah ia habiskan bersama ayahnya, sambil bertanya apakah ia senang dan apakah mereka semua senang melihatnya pulang.

Si Cantik sangat senang menceritakan kepadanya semua yang telah terjadi kepada dirinya. Ketika akhirnya saatnya tiba baginya untuk pergi, ia bertanya, sebagaimana sering ia tanyakan sebelumnya: "Si Cantik, maukah kau menikah denganku?"

Ia menjawab dengan lembut, "Ya, Si Buruk Rupa sayang."

Saat ia berkata demikian, seberkas sinar memancar di depan jendela-jendela istana; berbagai kembang api memancar terang dan senjata-senjata api ditembakkan, dan di seberang gang pohon-pohon jeruk, dalam huruf-huruf yang semuanya terbuat dari kunang-kunang, tertulis: "Semoga panjang umur sang Pangeran dan permaisurinya."

Setelah menoleh untuk bertanya kepada Si Buruk Rupa apa arti semua ini, Si Cantik tahu ia telah lenyap, dan ditempatnya berdiri seorang Pangeran yang telah lama ia cintai! Pada saat yang sama terdengar suara roda-roda kereta di atas teras, dan dua orang wanita bangsawan memasuki ruangan. Salah satu dari mereka, yang telah Si Cantik kenali, adalah wanita bangsawan yang telah ia lihat dalam mimpi-mimpinya; sedangkan lainnya kelihatan seperti ratu sehingga Si Cantik bingung mana yang harus disalami lebih dulu. Tapi wanita yang telah ia kenali itu berkata kepada temannya: "Nah, Ratuku, inilah Si Cantik, yang telah memiliki keberanian untuk menyelamatkan putramu dari sihir jahanam. Mereka saling mencintai satu sama lain, dan tinggal restumu saja atas pernikahan mereka sedang menunggu untuk membuat mereka berdua benar-benar bahagia."

"Dengan sepenuh hati kurestui," kata sang Ratu. "Bagaimana aku harus berterima kasih, hai gadis manis, atas keberanianmu mengembalikan putra kesayanganku kepada bentuknya semula?" Dan kemudian dengan lembut ia memeluk Si Cantik dan sang Pangeran, yang sementara itu telah memberikan salam kepada wanita lainnya, yang tak lain adalah seorang peri, dan sedang menerima ucapan selamat darinya.

"Sekarang," kata peri itu kepada Si Cantik, "Kukira apakah kau ingin aku membawa ayahmu dan saudara-saudaramu untuk berdansa pada pernikahanmu?"

Dan begitulah ia ingin mereka ikut berdansa, dan pernikahan itu dirayakan keesukan hari itu juga dengan sangat meriah, dan Si Cantik serta sang Pangeran hidup bahagia selamanya.

Sumber: MADAM DE VILLENEUVE, ANDREW LANG COLLECTION

Kenapa Diam Sahabat

Mengapa Kau diam Sahabat?
Aku Diam Karena aku tidak ingin bicara
Aku menikmaati suasana Hening
Karena Hening dapat memberikan Nuansa

Tidak kah kau lihat mereka berbicara Sahabat?
Kenapa Kau memilh selalu diam
Aku Bukan mereka, aku tidak suka banyak bicara
Itu menunjukan meraka tidak Mempunyai Makna

Tidak Kah Kau Sakit atau Marah atas ulah mereka sahabat?
Marah? kenapa harus marah.. aku hanya tertawa
Lihatlah mereka, Badut-badut panggung melakonkan drama
Itulah Kwalitas Mereka yang tak bijaksana

Bukan kah diam tak menyelesakai Masalah Sahabat?
Kamu salah, Diam menjawab dengan seribu bahasa
Apakah tidak kau lihat congor mereka berbusa
Dengan kata-kata yang hanya sebuah bisa

lalu apa yang akan kau lakukan sahabat?
Aku hanya akan melihat dan terus tertawa
Melihat Ocehan badut-badut panggung itu disana
tidak kah kau terhidur oleh meraka

Kau betul sahabat ku yang sangat kucinta
Memang dengan banyak berbicara kita terlihat merana
Dengan diam kita bisa memaknai yang ada
Kau memang sahabat ku yang bijaksana.


Sumber: http://toppuisi.blogspot.com
Oleh: