Selasa, 01 September 2009

Runtuhnya Sebuah Kesombongan

Kriiing… Bel tanda masuk sekolah berbunyi nyaring. Hari Senin adalah hari upacara bendera. Murid-murid SMA Taruna Bangsa berduyun-duyun menuju ke lapangan untuk kemudian berbaris dan siap mengikuti kegiatan yang dilakukan secara nasional setiap hari Senin di setiap sekolah.

Seorang anak laki-laki lari tergopoh-gopoh menuju kelasnya untuk meletakkan tasnya. Dia sedikit terlambat dari biasanya.

Braaakkk… Tak sengaja dia menabrak sesorang.
“Hei… Motomu picek yo!”
“Maaf Di.. Maaf… Aku ga sengaja…”
Andi mencengkeram kerah baju Bowo sambil melotot.
“Sudahlah Di… Jangan di sini… Lepaskan dia…” seorang teman Andi mencoba melepaskan cengkeraman Andi.
“Huh… Dasar anak kampung!” maki Andi sambil mendorong Bowo.

Bowo tak memerdulikan Andi. Dia bergegas ke kelasnya, meletakkan tas dan lekas bergabung dengan teman-temannya yang lain sebelum upacara dimulai.

---

Andi adalah seorang murid yang tampan, tinggi besar, jago bermain basket, dan pemegang sabuk hitam Dan 1 pada sebuah perguruan karate di Surabaya. Dalam satu pertandingan antar SMA se-Jawa Timur, dia berhasil memboyong medali emas untuk kumite (pertarungan) bebas. Ayahnya adalah seorang pebisnis yang sukses dan kaya raya di Surabaya. Sayang sekali, segala kelebihan yang dipunyai Andi ditutupi oleh sikapnya yang sombong dan congkak, memandang rendah teman-temannya yang lain. Dia menganggap bahwa semua teman-temannya bisa dia beli dengan uangnya, atau dengan mengintimidasinya. Apa yang menjadi kehendaknya harus segera terlaksana. Dan Andi selalu berhasil memperolehnya. Dengan sikapnya yang demikian, Andi menjadi seorang yang ditakuti di kalangan murid-murid SMA Taruna Bangsa.

“Hei Ra… belum pulang?”
“Belum, lagi nunggu dijemput kakakku.”
“Aku anter pulang ya? Sekalian mampir dulu makan es di Zangrandi, mau?”
“Ga usahlah Di. Nanti kakakku nyariin aku.”
“Alaaah Ra… telepon aja kakakmu, bilang kamu mau dianter pulang sama aku, khan beres!” Andi mulai memaksa Lora, gadis cantik teman sekelasnya.
Lora mulai tampak tak senang dan gelisah, “Aku mau pulang sama kakakku aja Di!”
Andi menarik tangan Lora, “Yuuk… udahlah, biar aku yang telepon kakakmu kalo gitu.”
“Lepaskan Di! Aku ga mau!!!” Lora mulai panik.

Jam sudah hampir menunjukkan pukul tiga. Sekolah sudah relatif sepi.

“Ayolaaah…” paksa Andi agak sedikit menyeret Lora.
Tiga orang teman Andi hanya tertawa melihatnya. Biasa, cecunguk dan begundal memang ada di mana-mana.
“Sudahlah Ra… Ikuti aja apa kata Andi. Diajak makan es kok ga mau,” bujuk Arman.
“Iya Ra, Andi suka sama kamu tuh. Dijamin kamu pasti hidup enak deh!” kata Dendi.

“Ga mau! Lepaskan! Atau aku teriak nih!”
“Hahaha… Ayo, teriak aja yang keras… Paling juga angin yang denger!”
Lora mulai menangis…

Tiba-tiba…
“Di, lepaskan Lora!” tegur Bowo. Andi terkejut.
“Hei bocah kampung, jangan ikut campur urusan gue!”
“Jangan gitu Di. Lora kan teman kita juga. Jangan paksa dia. Kasihan dia,” bujuk Bowo.
Andi melepaskan Lora, menuju ke arah Bowo. Ketiga temannya mengikuti di belakangnya. Bowo diam saja.
“Lu mau sok jago ya? Belum pernah KO?” ancam Andi.
Bowo menatap mata Andi lekat-lekat. Andi merasa tertantang.
“Ikut gua lu!” Andi mencengkeram baju Bowo sambil menyeretnya pergi.
“Di, jangan Di! Bowo mau kamu apakan?” teriak Lora.
Andi tak menghiraukan. Dia tetap menyeret Bowo, menuju ke WC putra. Bowo sepertinya pasrah saja diseret menuju “ruang pengadilan”, begitu murid-murid SMA Taruna Bangsa menyebutnya.

Dibandingkan Andi, Bowo bertubuh biasa saja. Berkulit sawo matang dan bila disejajarkan, dia hanyalah setinggi telinga bawah Andi. Bowo termasuk murid yang pendiam. Di kelas, dia termasuk murid yang pandai, selalu masuk ranking 5 besar.

“Di, kalo kamu mau mukuli aku, jangan di WC. Di kebun belakang sekolah aja,” pinta Bowo sambil memelas.
“Aes… ga usah banyak omong!”
“Apa bedanya Di, toh aku bakalan bengep juga. Lagi pula, kalo aku pingsan di kebun belakang sekolah, ga ada yang bakal nemuin aku sampai aku sadar.”
Betul juga kata Bowo, pikir Andi yang sudah mata gelap.
“Betul juga kata bocah kampung ini Di,” Dendi memanas-manasi.
“Bawa ke kebun belakang sekolah aja Di,” saran Toni.
“Iya Di, kita hajar di sana saja!” Arman tak mau kalah mengompori.
Akhirnya Andi menyeret Bowo ke arah kebun belakang sekolah SMA Taruna Bangsa.

Bowo tersungkur di tanah begitu Andi mendorongnya hingga jatuh.
“Lu belum pernah ngerasain gimana rasanya dihajar sama karateka ya?” Andi sesumbar.
“Huh… Di… Di… Sikapmu itu malah membuat malu karateka yang lainnya. Membuat malu gurumu, dan bahkan menodai karate itu sendiri. Tau tidak?” kata Bowo sambil berdiri.
“Kamu sudah melanggar 2 dari 5 sumpah karate!” lanjut Bowo.
“Kunyuk! Tau apa lu soal sumpah karate segala?!”
“Hehehe… Yang jelas, kamu melanggar sumpah sanggup menjaga sopan santun, dan sanggup menguasai diri. Bener ga kataku?” Bowo mencoba tersenyum.
“Kurang ajar! Makan ini!”
Buuuukkk… Sebuah pukulan telak mendarat di pipi Bowo, menyerempet bibirnya hingga berdarah.
“Satu…” desis Bowo.
“Apaaaa???” Andi berteriak kalap, merasa diremehkan.
Buuuukkk… Sebuah tendangan mae geri (tendangan lurus) bersarang telak di perut Bowo. Bowo memegangi perutnya sambil mendesis, “Duaaa…”
Buuuukkk… Tendangan sabit mawashi geri menemui sasarannya menghajar rusuk Bowo. Bowo meringis menahan nyeri. Andi makin kalap. Ketiga temannya ganda tertawa dan menyoraki.
“Tigaaa… Cukup Di… Cukup! Apa kamu mau ngeliat aku mati?” sergah Bowo.
“D*an**k koen bocah kampung! Mau coba mempermainkan gue ya?!”
Dengan posisi kamae, Andi bersiap kembali melancarkan serangan.
Bowo menyeka darah di bibirnya.
Hyaaaaatttt… Andi berteriak sambil melancarkan pukulan lurus chudan tsuki ke arah ulu hati Bowo, dan bila Bowo masih tetap berdiri, Andi telah menyiapkan terusannya, pukulan san bon tsuki (pukulan 3 kali beruntun). Serangan yang telengas!

Aaaggghhh…!!! Andi berteriak kesakitan! Dia menyeka hidungnya. Berdarah! Hidungnya terasa nyeri sekali. Andi tak habis pikir. Mengapa tiba-tiba dia merasakan nyeri di pergelangan tangannya juga, dan entah bagaimana ceritanya hidungnya bisa pecah berdarah. Arman, Dendi dan Toni juga terkejut. Mereka berempat tidak menyangka, dan tidak pernah mengira. Bowo menghajar Andi si Juara Karate? Rasanya mustahil!

Apa yang sebenarnya terjadi?
Beberapa centimeter sebelum pukulan Andi mengenai sasaran, Bowo dengan cepat bergerak dengan teknik “Tebang Sikap Pendeta Terusan Satria”. Dua gerak yang dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan, mungkin kurang dari satu detik! Punggung tangan kiri Bowo telak menyambar hidung mancung Andi.

“Maaf Di… Kita sudahi saja urusan ini!”
“Enak aja! Ternyata diam-diam lu bisa berkelahi juga ya!”
“Sudahlah Di… Aku ga mau menyakiti kamu!”
“Huh! Gue mau tau sampe di mana kebisaan lu!”
Andi mengempos semangatnya. Ketiga temannya bersiap mengeroyok. Bowo masih berdiri waspada.

Secara teori, kalau dikeroyok, hajar dulu pemimpinnya sampai menyerah, maka yang lainnya akan berpikir seribu kali untuk meneruskan keroyokan. Tetapi Bowo berpikir lain. Mengingat bahwa Andi adalah juara karate se-Jawa Timur, mungkin agak sulit untuk melumpuhkan dia, sementara 3 orang lainnya akan merepotkan dia kalau memang harus menghadapi keroyokan mereka.

Dengan berteriak nyaring, Andi melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Bowo. Bowo bergerak gesit dan dapat menghindari serta memapas semua serangan Andi. Hingga satu kesempatan, Bowo menggesut ke kiri dan menghajar tempurung lutut Andi dengan teknik Tolak Luar Garuda saat Andi melancarkan tendangan. Belum sempat Andi selesai mengaduh, dia telah terjerembab karena didorong oleh Bowo. Sebenarnya, bila Bowo mau, teknik Cawuk Harimau yang dilancarkan setelah menghajar tempurung lutut, dapat segera menyelesaikan Andi. Tetapi Bowo masih memberi kesempatan, dan mengubah serangan cawukan ke arah telinga menjadi sekedar dorongan saja.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Bowo bergerak bagaikan burung walet. Menyambar Arman, menghajar Toni dan mengakhiri pengeroyokan dengan melumpuhkan Dendi. Nyali ketiganya bagaikan terbang, dan mereka memilih untuk tidak melanjutkan perkelahian. Pilihan yang tepat! Tetapi tidak dengan Andi.

Andi bangun dengan mata yang menyala-nyala. Amarahnya memuncak ke kepala, menutupi akal sehatnya. Dia merasa dipermalukan! Bagaimana tidak? Dia yang terkenal sebagai Juara Karate se-Jawa Timur, bisa dengan mudah dihajar oleh anak kemarin sore yang terlihat lemah dan lebih kecil dari dia?

Ssssshhhh… Ssssshhhh… Haaaaaahhh… Andi mengeluarkan napas mendesis dari mulut. Tangan dan kakinya bergerak lambat penuh tenaga. Otot-ototnya menggembung.
Sanchin! Pikir Bowo.
Ya, Andi sedang mengempos tenaga dengan Sanchin kata (jurus). Sanchin bila dilatih dengan baik, dapat membuat tubuh menjadi kebal terhadap pukulan dan tendangan. Sebaliknya, biar pun terlihat lambat, pukulan dan tendangan yang dilambari dengan tenaga dari jurus Sanchin, akan sangat bertenaga dan sangat berbahaya. Bila terkena, tidak mustahil akan membawa lawan ke pintu gerbang kematian.

Sanchin kata dapat digolongkan dalam pelatihan tenaga dalam keras atau tenaga dalam kasar (yang kang atau weikung), atau semacam pernapasan gwakang pada silat yang dipelajari Bowo. Dan Bowo tahu, rahasia kelemahan teknik semacam itu. Dia menunggu saat yang tepat.

Huuuhhh… Buuukkk… Saat Andi menarik napas, Bowo menyertainya dengan teknik Tebak Harimau yang dilancarkan tanpa tenaga, menyerang ke arah satu jari di bawah kedua puting Andi. Begitu menyentuh badan Andi, serangan Bowo menjadi deras berisi tenaga. Inilah salah satu aplikasi dari teknik “kosong-isi”. Akibatnya luar biasa! Benteng dari tenaga Sanchin dapat tertembus dan jebol. Kuda-kudanya yang kokoh kuat tergempur! Tersentak, Andi terlempar ke belakang bagaikan layang-layang putus tali. Namun dengan teknik yang bagus, Andi dapat menggulung dan kemudian berdiri lagi. Tetapi Bowo tidak memberinya kesempatan untuk menyiapkan diri. Susulan serangan slosor ke arah kemaluan Andi bersarang telak hingga membuat Andi terangkat dan jatuh nyaris tak sadarkan diri. Andi mengerang… Melihat Andi roboh, Bowo menyimpan serangan susulan Tusuk Kuntul yang akan dilancarkan ke arah jakun.

Bowo menghampiri Andi. Dia memeriksa keadaan lawannya yang masih mengerang kesakitan. Kedua mata Andi terbalik, hanya terlihat putihnya saja. Wah, testisnya naik! Celaka! Pikir Bowo. Dengan cepat Bowo mendudukkan Andi, lalu dengan perlahan, Bowo menendang-nendang daerah dekat tulang ekor Andi dengan telapak kakinya. Setelah yakin bahwa keadaan Andi telah kembali normal, Bowo mengurut dan mengusap beberapa titik di punggung Andi. Bowo melihat bahwa mata Andi sudah normal kembali dan mukanya sudah berwarna dan tidak lagi pucat seperti kertas.

“Kalau kalian masih petentang petenteng lagi, maka aku tak akan segan-segan menghajar kalian di depan teman-teman! Kalau kalian masih penasaran, aku murid Mas Herman ga bakalan lari biar sepuluh orang macam kalian cari penyakit! Ingat itu!” ancam Bowo serius.

Andi, Arman, Dendi dan Toni terkejut. Sangat terkejut, mendengar pengakuan Bowo bahwa dia adalah seorang murid Mas Herman. Ya, Mas Herman, guru silat yang mengajar ekstra kurikuler silat di SMA Taruna Bangsa, dan beliau adalah murid dari sebuah perguruan silat besar yang pusatnya berkedudukan di Surabaya. Mereka tidak pernah tahu dan tidak pernah melihat Bowo ikutan latihan silat di sekolah. Pastinya latihan privat.

Bowo berjalan meninggalkan mereka berempat, kembali menuju kelasnya untuk mengambil tasnya. Hanya saja, sekarang dia berpikir keras, bagaimana dia harus menjelaskan kepada Ibundanya mengenai seragam sekolahnya yang kotor dan koyak.

SELESAI?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar