Selasa, 01 September 2009

Runtuhnya Sebuah Kesombongan

Kriiing… Bel tanda masuk sekolah berbunyi nyaring. Hari Senin adalah hari upacara bendera. Murid-murid SMA Taruna Bangsa berduyun-duyun menuju ke lapangan untuk kemudian berbaris dan siap mengikuti kegiatan yang dilakukan secara nasional setiap hari Senin di setiap sekolah.

Seorang anak laki-laki lari tergopoh-gopoh menuju kelasnya untuk meletakkan tasnya. Dia sedikit terlambat dari biasanya.

Braaakkk… Tak sengaja dia menabrak sesorang.
“Hei… Motomu picek yo!”
“Maaf Di.. Maaf… Aku ga sengaja…”
Andi mencengkeram kerah baju Bowo sambil melotot.
“Sudahlah Di… Jangan di sini… Lepaskan dia…” seorang teman Andi mencoba melepaskan cengkeraman Andi.
“Huh… Dasar anak kampung!” maki Andi sambil mendorong Bowo.

Bowo tak memerdulikan Andi. Dia bergegas ke kelasnya, meletakkan tas dan lekas bergabung dengan teman-temannya yang lain sebelum upacara dimulai.

---

Andi adalah seorang murid yang tampan, tinggi besar, jago bermain basket, dan pemegang sabuk hitam Dan 1 pada sebuah perguruan karate di Surabaya. Dalam satu pertandingan antar SMA se-Jawa Timur, dia berhasil memboyong medali emas untuk kumite (pertarungan) bebas. Ayahnya adalah seorang pebisnis yang sukses dan kaya raya di Surabaya. Sayang sekali, segala kelebihan yang dipunyai Andi ditutupi oleh sikapnya yang sombong dan congkak, memandang rendah teman-temannya yang lain. Dia menganggap bahwa semua teman-temannya bisa dia beli dengan uangnya, atau dengan mengintimidasinya. Apa yang menjadi kehendaknya harus segera terlaksana. Dan Andi selalu berhasil memperolehnya. Dengan sikapnya yang demikian, Andi menjadi seorang yang ditakuti di kalangan murid-murid SMA Taruna Bangsa.

“Hei Ra… belum pulang?”
“Belum, lagi nunggu dijemput kakakku.”
“Aku anter pulang ya? Sekalian mampir dulu makan es di Zangrandi, mau?”
“Ga usahlah Di. Nanti kakakku nyariin aku.”
“Alaaah Ra… telepon aja kakakmu, bilang kamu mau dianter pulang sama aku, khan beres!” Andi mulai memaksa Lora, gadis cantik teman sekelasnya.
Lora mulai tampak tak senang dan gelisah, “Aku mau pulang sama kakakku aja Di!”
Andi menarik tangan Lora, “Yuuk… udahlah, biar aku yang telepon kakakmu kalo gitu.”
“Lepaskan Di! Aku ga mau!!!” Lora mulai panik.

Jam sudah hampir menunjukkan pukul tiga. Sekolah sudah relatif sepi.

“Ayolaaah…” paksa Andi agak sedikit menyeret Lora.
Tiga orang teman Andi hanya tertawa melihatnya. Biasa, cecunguk dan begundal memang ada di mana-mana.
“Sudahlah Ra… Ikuti aja apa kata Andi. Diajak makan es kok ga mau,” bujuk Arman.
“Iya Ra, Andi suka sama kamu tuh. Dijamin kamu pasti hidup enak deh!” kata Dendi.

“Ga mau! Lepaskan! Atau aku teriak nih!”
“Hahaha… Ayo, teriak aja yang keras… Paling juga angin yang denger!”
Lora mulai menangis…

Tiba-tiba…
“Di, lepaskan Lora!” tegur Bowo. Andi terkejut.
“Hei bocah kampung, jangan ikut campur urusan gue!”
“Jangan gitu Di. Lora kan teman kita juga. Jangan paksa dia. Kasihan dia,” bujuk Bowo.
Andi melepaskan Lora, menuju ke arah Bowo. Ketiga temannya mengikuti di belakangnya. Bowo diam saja.
“Lu mau sok jago ya? Belum pernah KO?” ancam Andi.
Bowo menatap mata Andi lekat-lekat. Andi merasa tertantang.
“Ikut gua lu!” Andi mencengkeram baju Bowo sambil menyeretnya pergi.
“Di, jangan Di! Bowo mau kamu apakan?” teriak Lora.
Andi tak menghiraukan. Dia tetap menyeret Bowo, menuju ke WC putra. Bowo sepertinya pasrah saja diseret menuju “ruang pengadilan”, begitu murid-murid SMA Taruna Bangsa menyebutnya.

Dibandingkan Andi, Bowo bertubuh biasa saja. Berkulit sawo matang dan bila disejajarkan, dia hanyalah setinggi telinga bawah Andi. Bowo termasuk murid yang pendiam. Di kelas, dia termasuk murid yang pandai, selalu masuk ranking 5 besar.

“Di, kalo kamu mau mukuli aku, jangan di WC. Di kebun belakang sekolah aja,” pinta Bowo sambil memelas.
“Aes… ga usah banyak omong!”
“Apa bedanya Di, toh aku bakalan bengep juga. Lagi pula, kalo aku pingsan di kebun belakang sekolah, ga ada yang bakal nemuin aku sampai aku sadar.”
Betul juga kata Bowo, pikir Andi yang sudah mata gelap.
“Betul juga kata bocah kampung ini Di,” Dendi memanas-manasi.
“Bawa ke kebun belakang sekolah aja Di,” saran Toni.
“Iya Di, kita hajar di sana saja!” Arman tak mau kalah mengompori.
Akhirnya Andi menyeret Bowo ke arah kebun belakang sekolah SMA Taruna Bangsa.

Bowo tersungkur di tanah begitu Andi mendorongnya hingga jatuh.
“Lu belum pernah ngerasain gimana rasanya dihajar sama karateka ya?” Andi sesumbar.
“Huh… Di… Di… Sikapmu itu malah membuat malu karateka yang lainnya. Membuat malu gurumu, dan bahkan menodai karate itu sendiri. Tau tidak?” kata Bowo sambil berdiri.
“Kamu sudah melanggar 2 dari 5 sumpah karate!” lanjut Bowo.
“Kunyuk! Tau apa lu soal sumpah karate segala?!”
“Hehehe… Yang jelas, kamu melanggar sumpah sanggup menjaga sopan santun, dan sanggup menguasai diri. Bener ga kataku?” Bowo mencoba tersenyum.
“Kurang ajar! Makan ini!”
Buuuukkk… Sebuah pukulan telak mendarat di pipi Bowo, menyerempet bibirnya hingga berdarah.
“Satu…” desis Bowo.
“Apaaaa???” Andi berteriak kalap, merasa diremehkan.
Buuuukkk… Sebuah tendangan mae geri (tendangan lurus) bersarang telak di perut Bowo. Bowo memegangi perutnya sambil mendesis, “Duaaa…”
Buuuukkk… Tendangan sabit mawashi geri menemui sasarannya menghajar rusuk Bowo. Bowo meringis menahan nyeri. Andi makin kalap. Ketiga temannya ganda tertawa dan menyoraki.
“Tigaaa… Cukup Di… Cukup! Apa kamu mau ngeliat aku mati?” sergah Bowo.
“D*an**k koen bocah kampung! Mau coba mempermainkan gue ya?!”
Dengan posisi kamae, Andi bersiap kembali melancarkan serangan.
Bowo menyeka darah di bibirnya.
Hyaaaaatttt… Andi berteriak sambil melancarkan pukulan lurus chudan tsuki ke arah ulu hati Bowo, dan bila Bowo masih tetap berdiri, Andi telah menyiapkan terusannya, pukulan san bon tsuki (pukulan 3 kali beruntun). Serangan yang telengas!

Aaaggghhh…!!! Andi berteriak kesakitan! Dia menyeka hidungnya. Berdarah! Hidungnya terasa nyeri sekali. Andi tak habis pikir. Mengapa tiba-tiba dia merasakan nyeri di pergelangan tangannya juga, dan entah bagaimana ceritanya hidungnya bisa pecah berdarah. Arman, Dendi dan Toni juga terkejut. Mereka berempat tidak menyangka, dan tidak pernah mengira. Bowo menghajar Andi si Juara Karate? Rasanya mustahil!

Apa yang sebenarnya terjadi?
Beberapa centimeter sebelum pukulan Andi mengenai sasaran, Bowo dengan cepat bergerak dengan teknik “Tebang Sikap Pendeta Terusan Satria”. Dua gerak yang dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan, mungkin kurang dari satu detik! Punggung tangan kiri Bowo telak menyambar hidung mancung Andi.

“Maaf Di… Kita sudahi saja urusan ini!”
“Enak aja! Ternyata diam-diam lu bisa berkelahi juga ya!”
“Sudahlah Di… Aku ga mau menyakiti kamu!”
“Huh! Gue mau tau sampe di mana kebisaan lu!”
Andi mengempos semangatnya. Ketiga temannya bersiap mengeroyok. Bowo masih berdiri waspada.

Secara teori, kalau dikeroyok, hajar dulu pemimpinnya sampai menyerah, maka yang lainnya akan berpikir seribu kali untuk meneruskan keroyokan. Tetapi Bowo berpikir lain. Mengingat bahwa Andi adalah juara karate se-Jawa Timur, mungkin agak sulit untuk melumpuhkan dia, sementara 3 orang lainnya akan merepotkan dia kalau memang harus menghadapi keroyokan mereka.

Dengan berteriak nyaring, Andi melancarkan serangan bertubi-tubi ke arah Bowo. Bowo bergerak gesit dan dapat menghindari serta memapas semua serangan Andi. Hingga satu kesempatan, Bowo menggesut ke kiri dan menghajar tempurung lutut Andi dengan teknik Tolak Luar Garuda saat Andi melancarkan tendangan. Belum sempat Andi selesai mengaduh, dia telah terjerembab karena didorong oleh Bowo. Sebenarnya, bila Bowo mau, teknik Cawuk Harimau yang dilancarkan setelah menghajar tempurung lutut, dapat segera menyelesaikan Andi. Tetapi Bowo masih memberi kesempatan, dan mengubah serangan cawukan ke arah telinga menjadi sekedar dorongan saja.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan, Bowo bergerak bagaikan burung walet. Menyambar Arman, menghajar Toni dan mengakhiri pengeroyokan dengan melumpuhkan Dendi. Nyali ketiganya bagaikan terbang, dan mereka memilih untuk tidak melanjutkan perkelahian. Pilihan yang tepat! Tetapi tidak dengan Andi.

Andi bangun dengan mata yang menyala-nyala. Amarahnya memuncak ke kepala, menutupi akal sehatnya. Dia merasa dipermalukan! Bagaimana tidak? Dia yang terkenal sebagai Juara Karate se-Jawa Timur, bisa dengan mudah dihajar oleh anak kemarin sore yang terlihat lemah dan lebih kecil dari dia?

Ssssshhhh… Ssssshhhh… Haaaaaahhh… Andi mengeluarkan napas mendesis dari mulut. Tangan dan kakinya bergerak lambat penuh tenaga. Otot-ototnya menggembung.
Sanchin! Pikir Bowo.
Ya, Andi sedang mengempos tenaga dengan Sanchin kata (jurus). Sanchin bila dilatih dengan baik, dapat membuat tubuh menjadi kebal terhadap pukulan dan tendangan. Sebaliknya, biar pun terlihat lambat, pukulan dan tendangan yang dilambari dengan tenaga dari jurus Sanchin, akan sangat bertenaga dan sangat berbahaya. Bila terkena, tidak mustahil akan membawa lawan ke pintu gerbang kematian.

Sanchin kata dapat digolongkan dalam pelatihan tenaga dalam keras atau tenaga dalam kasar (yang kang atau weikung), atau semacam pernapasan gwakang pada silat yang dipelajari Bowo. Dan Bowo tahu, rahasia kelemahan teknik semacam itu. Dia menunggu saat yang tepat.

Huuuhhh… Buuukkk… Saat Andi menarik napas, Bowo menyertainya dengan teknik Tebak Harimau yang dilancarkan tanpa tenaga, menyerang ke arah satu jari di bawah kedua puting Andi. Begitu menyentuh badan Andi, serangan Bowo menjadi deras berisi tenaga. Inilah salah satu aplikasi dari teknik “kosong-isi”. Akibatnya luar biasa! Benteng dari tenaga Sanchin dapat tertembus dan jebol. Kuda-kudanya yang kokoh kuat tergempur! Tersentak, Andi terlempar ke belakang bagaikan layang-layang putus tali. Namun dengan teknik yang bagus, Andi dapat menggulung dan kemudian berdiri lagi. Tetapi Bowo tidak memberinya kesempatan untuk menyiapkan diri. Susulan serangan slosor ke arah kemaluan Andi bersarang telak hingga membuat Andi terangkat dan jatuh nyaris tak sadarkan diri. Andi mengerang… Melihat Andi roboh, Bowo menyimpan serangan susulan Tusuk Kuntul yang akan dilancarkan ke arah jakun.

Bowo menghampiri Andi. Dia memeriksa keadaan lawannya yang masih mengerang kesakitan. Kedua mata Andi terbalik, hanya terlihat putihnya saja. Wah, testisnya naik! Celaka! Pikir Bowo. Dengan cepat Bowo mendudukkan Andi, lalu dengan perlahan, Bowo menendang-nendang daerah dekat tulang ekor Andi dengan telapak kakinya. Setelah yakin bahwa keadaan Andi telah kembali normal, Bowo mengurut dan mengusap beberapa titik di punggung Andi. Bowo melihat bahwa mata Andi sudah normal kembali dan mukanya sudah berwarna dan tidak lagi pucat seperti kertas.

“Kalau kalian masih petentang petenteng lagi, maka aku tak akan segan-segan menghajar kalian di depan teman-teman! Kalau kalian masih penasaran, aku murid Mas Herman ga bakalan lari biar sepuluh orang macam kalian cari penyakit! Ingat itu!” ancam Bowo serius.

Andi, Arman, Dendi dan Toni terkejut. Sangat terkejut, mendengar pengakuan Bowo bahwa dia adalah seorang murid Mas Herman. Ya, Mas Herman, guru silat yang mengajar ekstra kurikuler silat di SMA Taruna Bangsa, dan beliau adalah murid dari sebuah perguruan silat besar yang pusatnya berkedudukan di Surabaya. Mereka tidak pernah tahu dan tidak pernah melihat Bowo ikutan latihan silat di sekolah. Pastinya latihan privat.

Bowo berjalan meninggalkan mereka berempat, kembali menuju kelasnya untuk mengambil tasnya. Hanya saja, sekarang dia berpikir keras, bagaimana dia harus menjelaskan kepada Ibundanya mengenai seragam sekolahnya yang kotor dan koyak.

SELESAI?

W. S. Rendra

Masa kecil

Rendra adalah anak dari pasangan R. Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Ayahnya adalah seorang guru Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa pada sekolah Katolik, Solo, di samping sebagai dramawan tradisional; sedangkan ibunya adalah penari serimpi di keraton Surakarta. Masa kecil hingga remaja Rendra dihabiskannya di kota kelahirannya.

Pendidikan

  • TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.
  • SD s/d SMU Katolik, St. Yosef, Solo - Tamat pada tahun 1955.
  • Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta - Tidak tamat.
  • mendapat beasiswa American Academy of Dramatical Art (1964 - 1967).

Rendra sebagai sastrawan

Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat.

Ia petama kali mempublikasikan puisinya di media massa pada tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisi-puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Hal itu terus berlanjut seperti terlihat dalam majalah-majalah pada dekade selanjutnya, terutama majalah tahun 60-an dan tahun 70-an.

"Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan “Orang-Orang di Tikungan Jalan” adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang dan India.

Ia juga aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995).

Bengkel Teater

Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Sampai sekarang Bengkel Teater masih berdiri dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.

Penelitian tentang karya Rendra

Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul “A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974”. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras Gedichtsammlungen (1957—1972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977.

Penghargaan

  • Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954)
  • Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956)
  • Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970)
  • Hadiah Akademi Jakarta (1975)
  • Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976)
  • Penghargaan Adam Malik (1989)
  • The S.E.A. Write Award (1996)
  • Penghargaan Achmad Bakri (2006).

Kontroversi pernikahan, masuk Islam dan julukan Burung Merak

Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Teddy Satya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Klara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Bendoro Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti.

Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi. Setelah menjadi muslim namanya menjadi Wahyu Sulaeman Rendra.

Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya. Saya bisa langsung beribadah kepada Allah tanpa memerlukan pertolongan orang lain. Sehingga saya merasa hak individu saya dihargai, katanya sambil mengutip ayat Quran, yang menyatakan bahwa Allah lebih dekat dari urat leher seseorang.

Toh kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang Burung Merak kembali mengibaskan keindahan sayapnya dengan mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Maryam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra menceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981.

Beberapa karya

Drama

  • Orang-orang di Tikungan Jalan (1954)
  • Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata)
  • SEKDA (1977)
  • Selamatan Anak Cucu Sulaiman (dimainkan 2 kali)
  • Mastodon dan Burung Kondor (1972)
  • Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)- dimainkan dua kali
  • Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama)
  • Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul "Oedipus Rex")
  • Lisistrata (terjemahan)
  • Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles,
  • Antigone (terjemahan dari karya Sophokles,
  • Kasidah Barzanji (dimainkan dua kali)
  • Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux asli dalam bahasa Prancis: "La Guerre de Troie n'aura pas lieu")
  • Panembahan Reso (1986)
  • Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali)

Sajak/Puisi

  • Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan sajak)
  • Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta
  • Blues untuk Bonnie
  • Empat Kumpulan Sajak
  • Jangan Takut Ibu
  • Mencari Bapak
  • Nyanyian Angsa
  • Pamphleten van een Dichter
  • Perjuangan Suku Naga
  • Pesan Pencopet kepada Pacarnya
  • Potret Pembangunan Dalam Puisi
  • Rendra: Ballads and Blues Poem (terjemahan)
  • Rick dari Corona
  • Rumpun Alang-alang
  • Sajak Potret Keluarga
  • Sajak Rajawali
  • Sajak Seonggok Jagung
  • Sajak Seorang Tua tentang Bandung Lautan Api
  • State of Emergency
  • Surat Cinta1

Hamka

HAMKA (1908-1981), adalah akronim kepada nama sebenar Haji Abdul Malik bin Abdul Karim Amrullah. Ia adalah seorang ulama, aktivis politik dan penulis Indonesia yang amat terkenal di alam Nusantara. Ia lahir pada 17 Februari 1908 di kampung Molek, Maninjau, Sumatera Barat, Indonesia. Ayahnya ialah Syeikh Abdul Karim bin Amrullah atau dikenali sebagai Haji Rasul, seorang pelopor Gerakan Islah (tajdid) di Minangkabau, sekembalinya dari Makkah pada tahun 1906.

Hamka mendapat pendidikan rendah di Sekolah Dasar Maninjau sehingga kelas dua. Ketika usia HAMKA mencapai 10 tahun, ayahnya telah mendirikan Sumatera Thawalib di Padang Panjang. Di situ Hamka mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Hamka juga pernah mengikuti pengajaran agama di surau dan masjid yang diberikan ulama terkenal seperti Syeikh Ibrahim Musa, Syeikh Ahmad Rasyid, Sutan Mansur, R.M. Surjopranoto dan Ki Bagus Hadikusumo.

Hamka mula-mula bekerja sebagai guru agama pada tahun 1927 di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan dan guru agama di Padang Panjang pada tahun 1929. Hamka kemudian dilantik sebagai dosen di Universitas Islam, Jakarta dan Universitas Muhammadiyah, Padang Panjang dari tahun 1957 hingga tahun 1958. Setelah itu, beliau diangkat menjadi rektor Perguruan Tinggi Islam, Jakarta dan Profesor Universitas Mustopo, Jakarta. Dari tahun 1951 hingga tahun 1960, beliau menjabat sebagai Pegawai Tinggi Agama oleh Menteri Agama Indonesia, tetapi meletakkan jabatan itu ketika Sukarno menyuruhnya memilih antara menjadi pegawai negeri atau bergiat dalam politik Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).

Hamka adalah seorang otodidiak dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan seperti filsafat, sastra, sejarah, sosiologi dan politik, baik Islam maupun Barat. Dengan kemahiran bahasa Arabnya yang tinggi, beliau dapat menyelidiki karya ulama dan pujangga besar di Timur Tengah seperti Zaki Mubarak, Jurji Zaidan, Abbas al-Aqqad, Mustafa al-Manfaluti dan Hussain Haikal. Melalui bahasa Arab juga, beliau meneliti karya sarjana Perancis, Inggris dan Jerman seperti Albert Camus, William James, Sigmund Freud, Arnold Toynbee, Jean Paul Sartre, Karl Marx dan Pierre Loti. Hamka juga rajin membaca dan bertukar-tukar pikiran dengan tokoh-tokoh terkenal Jakarta seperti HOS Tjokroaminoto, Raden Mas Surjopranoto, Haji Fachrudin, Ar Sutan Mansur dan Ki Bagus Hadikusumo sambil mengasah bakatnya sehingga menjadi seorang ahli pidato yang handal.

Hamka juga aktif dalam gerakan Islam melalui organisasi Muhammadiyah. Ia mengikuti pendirian Muhammadiyah mulai tahun 1925 untuk melawan khurafat, bidaah, tarekat dan kebatinan sesat di Padang Panjang. Mulai tahun 1928, beliau mengetuai cabang Muhammadiyah di Padang Panjang. Pada tahun 1929, Hamka mendirikan pusat latihan pendakwah Muhammadiyah dan dua tahun kemudian beliau menjadi konsul Muhammadiyah di Makassar. Kemudian beliau terpilih menjadi ketua Majlis Pimpinan Muhammadiyah di Sumatera Barat oleh Konferensi Muhammadiyah, menggantikan S.Y. Sutan Mangkuto pada tahun 1946. Ia menyusun kembali pembangunan dalam Kongres Muhammadiyah ke-31 di Yogyakarta pada tahun 1950.

Pada tahun 1953, Hamka dipilih sebagai penasihat pimpinan Pusat Muhammadiah. Pada 26 Juli 1977, Menteri Agama Indonesia, Prof. Dr. Mukti Ali melantik Hamka sebagai ketua umum Majlis Ulama Indonesia tetapi beliau kemudiannya meletak jawatan pada tahun 1981 karena nasihatnya tidak dipedulikan oleh pemerintah Indonesia.

Kegiatan politik Hamka bermula pada tahun 1925 ketika beliau menjadi anggota partai politik Sarekat Islam. Pada tahun 1945, beliau membantu menentang usaha kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia melalui pidato dan menyertai kegiatan gerilya di dalam hutan di Medan. Pada tahun 1947, Hamka diangkat menjadi ketua Barisan Pertahanan Nasional, Indonesia. Ia menjadi anggota Konstituante Masyumi dan menjadi pemidato utama dalam Pilihan Raya Umum 1955. Masyumi kemudiannya diharamkan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960. Dari tahun 1964 hingga tahun 1966, Hamka dipenjarakan oleh Presiden Sukarno karena dituduh pro-Malaysia. Semasa dipenjarakanlah maka beliau mulai menulis Tafsir al-Azhar yang merupakan karya ilmiah terbesarnya. Setelah keluar dari penjara, Hamka diangkat sebagai anggota Badan Musyawarah Kebajikan Nasional, Indonesia, anggota Majelis Perjalanan Haji Indonesia dan anggota Lembaga Kebudayaan Nasional, Indonesia.

Selain aktif dalam soal keagamaan dan politik, Hamka merupakan seorang wartawan, penulis, editor dan penerbit. Sejak tahun 1920-an, Hamka menjadi wartawan beberapa buah akhbar seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam dan Seruan Muhammadiyah. Pada tahun 1928, beliau menjadi editor majalah Kemajuan Masyarakat. Pada tahun 1932, beliau menjadi editor dan menerbitkan majalah al-Mahdi di Makasar. Hamka juga pernah menjadi editor majalah Pedoman Masyarakat, Panji Masyarakat dan Gema Islam.

Hamka juga menghasilkan karya ilmiah Islam dan karya kreatif seperti novel dan cerpen. Karya ilmiah terbesarnya ialah Tafsir al-Azhar (5 jilid) dan antara novel-novelnya yang mendapat perhatian umum dan menjadi buku teks sastera di Malaysia dan Singapura termasuklah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Di Bawah Lindungan Kaabah dan Merantau ke Deli.

Hamka pernah menerima beberapa anugerah pada peringkat nasional dan antarabangsa seperti anugerah kehormatan Doctor Honoris Causa, Universitas al-Azhar, 1958; Doktor Honoris Causa, Universitas Kebangsaan Malaysia, 1974; dan gelar Datuk Indono dan Pengeran Wiroguno dari pemerintah Indonesia.

Hamka telah pulang ke rahmatullah pada 24 Juli 1981, namun jasa dan pengaruhnya masih terasa sehingga kini dalam memartabatkan agama Islam. Ia bukan sahaja diterima sebagai seorang tokoh ulama dan sasterawan di negara kelahirannya, malah jasanya di seluruh alam Nusantara, termasuk Malaysia dan Singapura, turut dihargai.

Daftar Karya Buya Hamka

  1. Khatibul Ummah, Jilid 1-3. Ditulis dalam huruf Arab.
  2. Si Sabariah. (1928)
  3. Pembela Islam (Tarikh Saidina Abu Bakar Shiddiq),1929.
  4. Adat Minangkabau dan agama Islam (1929).
  5. Ringkasan tarikh Ummat Islam (1929).
  6. Kepentingan melakukan tabligh (1929).
  7. Hikmat Isra' dan Mikraj.
  8. Arkanul Islam (1932) di Makassar.
  9. Laila Majnun (1932) Balai Pustaka.
  10. Majallah 'Tentera' (4 nomor) 1932, di Makassar.
  11. Majallah Al-Mahdi (9 nomor) 1932 di Makassar.
  12. Mati mengandung malu (Salinan Al-Manfaluthi) 1934.
  13. Di Bawah Lindungan Ka'bah (1936) Pedoman Masyarakat,Balai Pustaka.
  14. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (1937), Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
  15. Di Dalam Lembah Kehidupan 1939, Pedoman Masyarakat, Balai Pustaka.
  16. Merantau ke Deli (1940), Pedoman Masyarakat, Toko Buku Syarkawi.
  17. Margaretta Gauthier (terjemahan) 1940.
  18. Tuan Direktur 1939.
  19. Dijemput mamaknya,1939.
  20. Keadilan Ilahy 1939.
  21. Tashawwuf Modern 1939.
  22. Falsafah Hidup 1939.
  23. Lembaga Hidup 1940.
  24. Lembaga Budi 1940.
  25. Majallah 'SEMANGAT ISLAM' (Zaman Jepang 1943).
  26. Majallah 'MENARA' (Terbit di Padang Panjang), sesudah revolusi 1946.
  27. Negara Islam (1946).
  28. Islam dan Demokrasi,1946.
  29. Revolusi Pikiran,1946.
  30. Revolusi Agama,1946.
  31. Adat Minangkabau menghadapi Revolusi,1946.
  32. Dibantingkan ombak masyarakat,1946.
  33. Didalam Lembah cita-cita,1946.
  34. Sesudah naskah Renville,1947.
  35. Pidato Pembelaan Peristiwa Tiga Maret,1947.
  36. Menunggu Beduk berbunyi,1949 di Bukittinggi,Sedang Konperansi Meja Bundar.
  37. Ayahku,1950 di Jakarta.
  38. Mandi Cahaya di Tanah Suci. 1950.
  39. Mengembara Dilembah Nyl. 1950.
  40. Ditepi Sungai Dajlah. 1950.
  41. Kenangan-kenangan hidup 1,autobiografi sejak lahir 1908 sampai pd tahun 1950.
  42. Kenangan-kenangan hidup 2.
  43. Kenangan-kenangan hidup 3.
  44. Kenangan-kenangan hidup 4.
  45. Sejarah Ummat Islam Jilid 1,ditulis tahun 1938 diangsur sampai 1950.
  46. Sejarah Ummat Islam Jilid 2.
  47. Sejarah Ummat Islam Jilid 3.
  48. Sejarah Ummat Islam Jilid 4.
  49. Pedoman Mubaligh Islam,Cetakan 1 1937 ; Cetakan ke 2 tahun 1950.
  50. Pribadi,1950.
  51. Agama dan perempuan,1939.
  52. Muhammadiyah melalui 3 zaman,1946,di Padang Panjang.
  53. 1001 Soal Hidup (Kumpulan karangan dr Pedoman Masyarakat, dibukukan 1950).
  54. Pelajaran Agama Islam,1956.
  55. Perkembangan Tashawwuf dr abad ke abad,1952.
  56. Empat bulan di Amerika,1953 Jilid 1.
  57. Empat bulan di Amerika Jilid 2.
  58. Pengaruh ajaran Muhammad Abduh di Indonesia (Pidato di Kairo 1958), utk Doktor Honoris Causa.
  59. Soal jawab 1960, disalin dari karangan-karangan Majalah GEMA ISLAM.
  60. Dari Perbendaharaan Lama, 1963 dicetak oleh M. Arbie, Medan; dan 1982 oleh Pustaka Panjimas, Jakarta.
  61. Lembaga Hikmat,1953 oleh Bulan Bintang, Jakarta.
  62. Islam dan Kebatinan,1972; Bulan Bintang.
  63. Fakta dan Khayal Tuanku Rao, 1970.
  64. Sayid Jamaluddin Al-Afhany 1965, Bulan Bintang.
  65. Ekspansi Ideologi (Alghazwul Fikri), 1963, Bulan Bintang.
  66. Hak Asasi Manusia dipandang dari segi Islam 1968.
  67. Falsafah Ideologi Islam 1950(sekembali dr Mekkah).
  68. Keadilan Sosial dalam Islam 1950 (sekembali dr Mekkah).
  69. Cita-cita kenegaraan dalam ajaran Islam (Kuliah umum) di Universiti Keristan 1970.
  70. Studi Islam 1973, diterbitkan oleh Panji Masyarakat.
  71. Himpunan Khutbah-khutbah.
  72. Urat Tunggang Pancasila.
  73. Doa-doa Rasulullah S.A.W,1974.
  74. Sejarah Islam di Sumatera.
  75. Bohong di Dunia.
  76. Muhammadiyah di Minangkabau 1975,(Menyambut Kongres Muhammadiyah di Padang).
  77. Pandangan Hidup Muslim,1960.
  78. Kedudukan perempuan dalam Islam,1973.
  79. [Tafsir Al-Azhar][1] Juzu' 1-30, ditulis pada masa beliau dipenjara oleh Sukarno.

Chairil Anwar

Chairil Anwar (lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922 – meninggal di Jakarta, 28 April 1949 pada umur 26 tahun) atau dikenal sebagai "Si Binatang Jalang" (dalam karyanya berjudul Aku [2]) adalah penyair terkemuka Indonesia. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin, ia dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai pelopor Angkatan '45 dan puisi modern Indonesia.

Masa kecil

Dilahirkan di Medan, Chairil Anwar merupakan anak tunggal. Ayahnya bernama Toeloes, mantan bupati Indragiri Riau, berasal dari nagari Taeh Baruah, Limapuluh Kota, Sumatra Barat. Sedangkan dari pihak ibunya, Saleha yang berasal dari nagari Situjuh, Limapuluh Kota [1] dia masih punya pertalian keluarga dengan Sutan Sjahrir, Perdana Menteri pertama Indonesia. [2]

Chairil masuk sekolah Holland Indische school (HIS), sekolah dasar untuk orang-orang pribumi waktu penjajah Belanda. Dia kemudian meneruskan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs, sekolah menengah pertama belanda, tetapi dia keluar sebelum lulus. Dia mulai untuk menulis sebagai seorang remaja tetapi tak satupun puisi awalnya yang ditemukan.

Pada usia sembilan belas tahun, setelah perceraian orang-tuanya, Chairil pindah dengan ibunya ke Jakarta di mana dia berkenalan dengan dunia sastera. Meskipun pendidikannya tak selesai, Chairil menguasai bahasa Inggris, bahasa Belanda dan bahasa Jerman, dan dia mengisi jam-jamnya dengan membaca pengarang internasional ternama, seperti: Rainer M. Rilke, W.H. Auden, Archibald MacLeish, H. Marsman, J. Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis ini sangat mempengaruhi tulisannya dan secara tidak langsung mempengaruhi puisi tatanan kesusasteraan Indonesia.

Masa Dewasa

Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastera setelah pemuatan tulisannya di "Majalah Nisan" pada tahun 1942, pada saat itu dia baru berusia dua puluh tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian.[3]. Chairil ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.[4]

Semua tulisannya yang asli, modifikasi, atau yang diduga diciplak dikompilasi dalam tiga buku : Deru Campur Debu (1949); Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus (1949); dan Tiga Menguak Takdir (1950, kumpulan puisi dengan Asrul Sani dan Rivai Apin).

Akhir Hidup

Vitalitas puitis Chairil tidak pernah diimbangi kondisi fisiknya, yang bertambah lemah akibat gaya hidupnya yang semrawut. Sebelum dia bisa menginjak usia dua puluh tujuh tahun, dia sudah kena sejumlah penyakit. Chairil Anwar meninggal dalam usia muda karena penyakit TBC[5] Dia dikuburkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak, Jakarta. Makamnya diziarahi oleh ribuan pengagumnya dari zaman ke zaman. Hari meninggalnya juga selalu diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Buku-buku

* Deru Campur Debu (1949)
* Kerikil Tajam dan Yang Terampas dan Yang Putus (1949)
* Tiga Menguak Takdir (1950) (dengan Asrul Sani dan Rivai Apin)
* "Aku Ini Binatang Jalang: koleksi sajak 1942-1949", diedit oleh Pamusuk Eneste, kata penutup oleh Sapardi Djoko Damono (1986)
* Derai-derai Cemara (1998)
* Pulanglah Dia Si Anak Hilang (1948), terjemahan karya Andre Gide
* Kena Gempur (1951), terjemahan karya John Steinbeck