Rabu, 12 Agustus 2009

Cinta Tertinggal Di Perpustakaan

Gadis berkacamata tebal itu tampak asyik di antara deretan rak buku. Beberapa buku diambilnya lalu dibawanya ke meja yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Di situ sudah ada setumpuk buku yang beberapa menit lalu diambilnya. Entah apa yang akan dilakukannya dengan buku-buku sebanyak itu. Ia terlihat sibuk membuka, membaca, menulis, kemudian membuka buku lainnya, membaca lagi dan menulis lagi. Dia sibuk sendiri dengan dunianya.
“Buku sastra di sebelah mana, ya?” sebuah suara mengalihkan kesibukan gadis itu sejenak. Tanpa menoleh sedikit pun tangan gadis itu lalu menunjuk ke arah sebelah kanan. Pria yang tadi bertanya segera mengikuti arah yang ditunjuk. Gadis itu pun kembali berkutet dengan buku-bukunya.
Tak berapa lama kemudian, “Sorry, kamu kan kayaknya familiar dengan perpustakaan ini, ngngng… bisa bantu nyariin buku ini nggak,” pria itu kembali menghampiri gadis berkacamata sambil menyodorkan secarik kertas.
Masih dengan gaya acuh tak acuhnya, gadis itu membaca coretan dalam kertas yang diberikan oleh si penanya, lalu, “Cari saja di deretan buku sastra, ada di rak buku barisan kedua paling pojok sebelah kanan.”
Laki-laki itu lalu pergi menuruti petunjuk yang dikatakan si gadis yang kelihatannya tak mau diganggu.
“Thanks ya bukunya sudah aku temukan. Dari tadi aku pusing muter-muter nyari buku ini eh nggak tahunya kamu tahu persis di mana letaknya,” ucap laki-laki tadi. “Namaku Aryo, kamu siapa?” lanjut laki-laki itu seolah tak peduli dengan keacuhan si gadis.
“Asti,” jawab gadis itu pendek tanpa menoleh sedikit pun.
“Aku kok nggak pernah melihatmu di kampus ini, kamu anak semester berapa?” tanya pria yang mengenalkan dirinya sebagai Aryo sambil duduk di kursi seberang gadis yang bernama Asti. Sebentar kemudian, Aryo memperhatikan wajah si gadis, mencoba mengingat kalau-kalau pernah bertemu dengan gadis di hadapannya.
Merasa diperhatikan, Asti menghentikan kegiatannya menulis lalu menatap laki-laki di hadapannya. Sedetik kemudian dia tertegun, mulutnya yang hampir berucap mendadak terhenti hingga melongo. Betapa kagetnya dirinya melihat siapa yang kini duduk satu meja dengannya. Laki-laki yang baru saja menanyakan namanya ini adalah Aryo, mahasiswa tingkat tiga yang digandrungi banyak cewek di kampus ini.

Selain berwajah tampan dan berbadan atletis, cowok ini dikenal dengan segudang prestasi olahraganya. Tak salah bila mahasiswa di kampus ini memilihnya menjadi ketua senat. Dan sudah menjadi rahasia umum bila semua cewek berebut menjadi pacarnya.
“Lho kok malah bengong. Kamu anak semester berapa?” tanya Aryo mengulang pertanyaannya tadi sekaligus membuyarkan lamunan Asti.
“Oh eh ngngng… aku?” tanyanya meyakinkan.
“Iya kamu. Emangnya ada orang lain di meja ini selain kita?” senyum Aryo mengembang.
“Aku adik tingkatmu.”
“Lho kamu tahu ya aku semester enam.”
Ups! Kontan wajah Asti memerah malu.
“Aku kok nggak pernah melihatmu?” kata Aryo yang tampak kebingungan.
Jelas saja Aryo merasa bingung dan heran karena hampir semua mahasiswa di kampus ini dikenalnya atau paling tidak ia hafal wajah. Maklum dia kan ketua senat.
Sementara dalam hati, Asti merasa tak heran bila Aryo tidak mengenalnya. Siapa sih yang mempedulikan keberadaan dirinya. Mahasiswa kutu buku yang menghabiskan sisa waktu kuliahnya di perpustakaan. Hampir tak ada mahasiswa yang mengenalnya dengan akrab. Apalagi cowok-cowok.
“Kamu aktif di kegiatan apa?”
Asti hanya menggeleng dan kembali menunduk, pura-pura sibuk kembali dengan buku-bukunya. Padahal saat ini hatinya terasa tidak keruan antara senang, bangga, dan takut bisa ngobrol dengan cowok idola. “Mengapa Tuhan memberiku kesempatan berkenalan dengan cowok idola ini, bikin hatiku nggak keruan saja,” keluhnya dalam hati. Ah, semoga saja tidak ada yang melihatnya sedang duduk bersama Aryo. Asti takut diejek. Takut dikatakan tidak pantas duduk satu meja dengan cowok impian gadis-gadis kampus. Takut.…
“Pasti kamu lebih suka di sini, ya. Pantas saja kamu hafal letak buku-buku di sini. Aku sebenarnya juga senang membaca, tapi waktuku nggak banyak. Oke deh kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya, aku harus ke ruang senat dulu. Bye Asti!”
Aryo meninggalkan senyum simpatiknya. Asti pun sekali lagi terbengong-bengong bahkan tak sempat membalas senyum ramah sang cowok pujaan. Dia benar-benar merasa seperti bermimpi bisa duduk dan ngobrol dengan Aryo. Selama ini ia hanya bisa memandangi Aryo dari kejauhan dan buru-buru menduduk, takut ketahuan orang lain. Yah, ia takut dikatakan pungguk merindukan bulan. Ah!
Dua hari kemudian, Asti kembali bertemu dengan Aryo di perpustakaan. Saat itu Aryo bermaksud mengembalikan buku sastra yang dipinjamnya tempo hari.

Cowok keren itu mengurungkan niatnya untuk segera meninggalkan perpustakaan ketika melihat gadis berkacamata yang duduk di meja sebelah pojok. Tiba-tiba ia tertarik untuk menghampiri Asti.
“Hai, Asti,” sapanya ramah sambil menarik kursi di sebelah Asti.
“Oh ka-mu…,” sapa Asti balik dengan setengah grogi.
“Kamu lagi baca apa sih kok asyik banget. Lagi nggak ada kuliah atau sedang menunggu jam kuliah,” cerocos Aryo berusaha memecah kekakuan Asti.
“Barusan saja selesai jam kuliah pertama. A-aku lagi pengin baca buku ini sambil menunggu jam kuliah kedua nanti sore,” tutur Asti sekuat tenaga menyembunyikan salah tingkahnya.
“Wih... buku yang kemarin ternyata menarik, ya. Sebenarnya aku pinjam untuk adikku tapi malah jadi tertarik ikutan baca. Adikku seperti kamu, doyan buku-buku he he…,” kata Aryo setengah bercanda membuat Asti ikut tertawa.
“Membaca buku itu merupakan kegiatan yang mengasyikkan. Banyak hal yang bisa kita peroleh tanpa harus mengalaminya secara langsung. Seperti membuka jendela saja. Kita dihadapkan pada pandangan yang luas dan bebas menjelajah,” ujarAsti tentang dunia yang dicintainya.
Asti tak lagi canggung. Saat Aryo membuka pembicaraan tentang dunia buku, Asti seolah mendapatkan kepercayaandirinya. Dia merasa buku adalah dunianya dan sesuatu yang sudah tak asing lagi. Menceritakan apa asyiknya membaca sama mudahnya membicarakan tentang dirinya. Dia dan buku seperti tidak bisa dipisahkan.
Pancingan Aryo ternyata mengena. Sengaja Aryo bertanya-tanya tentang buku agar Asti tidak banyak diam. Beruntung dia punya adik yang kutu buku juga. Dan beruntung pula beberapa kali dia mengantar adiknya ke toko buku. Setidaknya jadi tahu hal-hal yang menarik bagi pencinta buku.
Kini Asti tidak lagi pendiam seperti dua hari lalu. Ternyata gadis berkacamata ini pandai bicara juga. Wajahnya tampak berekspresi ketika menjelaskan satu per satu buku yang sudah dibacanya. Mata bulatnya yang tersembunyi di balik kacamata tampak berbinar indah. Wajahnya yang tidak terlalu cantik seperti memancarkan sesuatu yang menarik. Yah, wajah itu menyembunyikan kecerdasan. Mungkin tumpukkan ilmu yang diperolehnya dari membaca buku.
Belum pernah Aryo memandangi wajah gadis yang seperti ini. Biasanya saat berbincang dengan gadis-gadis ia hanya bisa menikmati kecantikan dan kemulusan kulitnya yang terkadang bila terlalu lama dipandang jadi membosankan. Berbeda dengan wajah Asti yang semakin lama dipandang semakin menarik. Aryo bahkan menebak jika Asti mau membuka kacamatanya pasti wajah gadis ini lebih menarik. Matanya bulat dan tatapannya tajam. Tanpa sadar Aryo bergumam sendiri sambil terus mendengarkan Asti yang asyik berceloteh.
Asti pun tanpa sadar menjadi banyak bicara. Satu hal yang jarang dilakukannya. Selama ini ia hanya berbicara banyak dalam hatinya. Paling banter ia menuliskan kejadian-kejadian menarik yang ditemuinya dalam buku diarinya. Atau membuatnya menjadi sebuah cerita untuk dikirimkan ke majalah. Yah, tak ada teman kampusnya yang tahu bahwa Asti adalah penulis cerpen yang karyanya banyak menghiasi majalah-majalah remaja. Hanya keluarganya yang tahu, itu pun setelah Asti memberitahukan nama samarannya.
Tak terasa, sudah satu jam lebih Aryo dan Asti mengobrol panjang lebar. Seperti yang sudah-sudah, Aryo yang duluan berpamitan karena ada jadwal latihan basket. Sebelum pergi, Aryo sempat mengajak Asti untuk menonton latihan basket, tapi segera ditolak oleh gadis itu. Bisa menjadi berita yang menghebohkan di kampus bila ketahuan Asti dan Aryo jalan berdua. Asti merasa minder.
Aryo dan Asti semakin akrab karena sering bertemu dan ngobrol di perpustakaan. Aryo sendiri heran mengapa jadi ketagihan berbincang panjang lebar dengan Asti. Ada satu hal dalam diri Asti yang tidak ditemukan pada gadis lain. Perpaduan antara kepolosan dan kepintaran.
Sementara itu, bisa dibayangkan bagaimana perasaan Asti dengan keakraban yang baru dijalinnya. Kini, tak hanya buku tujuannya ke perpustakaan. Setiap kali datang ke perpustakaan ia merasa deg-degan menunggu kedatangan Aryo. Ia pun tak lagi grogi seperti dulu bahkan kini merasa lebih percaya diri. Aryo pernah dengan terus terang mengatakan bahwa gadis seperti Asti yang memiliki pengetahuan luas tentang pustaka sudah sangat jarang dijumpainya. Apalagi saat mengetahui ternyata Asti juga pandai menulis cerpen. Kekagumannya pun semakin bertambah. Sikap Aryo yang jujur inilah yang membuat Asti merasa tersanjung.
Meskipun merasa bahagia dengan kehadiran Aryo, Asti tidak berani berharap banyak. Dia tidak ingin melambung terlalu tinggi karena jika jatuh pasti sakitnya terasa luar biasa. Beberapa kali Aryo menawarkan diri mengantarkan Asti pulang ke rumah bila waktu sudah hampir petang.
Tapi dengan halus Asti selalu menolaknya. Asti juga menolak untuk sekedar diajak makan dan minum di kantin. Asti tidak mau keakrabannya dengan Aryo diketahui mahasiswa lain. Bahkan ketika berada di perpustakaan, Asti selalu memilih tempat yang agak tersembunyi. Berjaga-jaga kalau Aryo datang, agar keduanya tidak mudah terlihat orang banyak.
Berita kedekatan Aryo dan Asti ternyata tidak bisa ditutup-tutupi. Mungkin karena Aryo adalah sosok yang terkenal di kampus. Atau mungkin karena kabar ini ada sangkut pautnya dengan Asti, gadis yang tidak diperhitungkan di kampus. Anak-anak kampus menjadi penasaran karena selama ini nama Asti hampir tidak pernah disebut-sebut dalam pembicaraan di antara mahasiswa maupun dosen. Cewek seperti apa yang bisa menahan perhatian cowok yang menjadi rebutan gadis-gadis kampus. Begitulah mungkin pertanyaan yang kini beredar dari mulut ke mulut. Akhirnya, Asti pun kini banyak dicari orang.
Hanya Asti yang tidak mengetahui jika namanya kini jadi bahan pembicaraan di kampus. Hingga suatu hari, saat dia menunggu kehadiran Aryo di perpustakaan, datanglah seorang gadis cantik menghampirinya.
“Namamu Ast,i kan? Kamu sedang menunggu kedatangan Aryo, ya?” tanya gadis cantik itu to the point, tanpa basa basi dulu.
Ditanya demikian, Asti langsung kaget dan merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Iya,” jawab Asti lirih tak dapat menyembunyikan kekhawatirannya.
“Aku Rosa, pacar Aryo. Terus terang saja, aku ke sini hanya ingin mengatakan bahwa gosip kedekatanmu dengan Aryo sangat mengganggu diriku, juga hubunganku dengan Aryo. Jadi nggak usah berpanjang lebar lagi, aku ingin kamu menjauhi Aryo. Lagi pula tidak ada yang kamu harapkan dari Aryo. Aryo tidak mungkin jatuh cinta dengan gadis macam kamu. Jangan menyalahartikan perhatian Aryo.”
Gadis bernama Rosa itu berkata-kata dengan ketus dan sinis. Setelah menyelesaikan kalimatnya yang sedikit mengandung ancaman, ia langsung berbalik pergi meninggalkan Asti yang terbengong-bengong.
Bagai disambar petir di siang bolong Asti mendengar perkataan Rosa. Rosa pacar Aryo? Yah, mengapa selama ini ia tidak berpikir tentang pacar Aryo. Tapi, bukankah selama ini tidak ada yang tahu, Asti dan Aryo sering bertemu? Ah, Aryo… mana mungkin cowok sekeren dia belum punya pacar. Mengapa selama ini ia tidak menanyakan siapa pacar Aryo.

Mengapa selama ini ia hanyut oleh perhatian Aryo. Hampir saja aku menjadi pungguk merindukan bulan. Bodohnya aku. Begitu pikiran yang berkecamuk di otak Asti.
Lihatlah betapa berbedanya Asti dan Rosa. Rosa begitu cantik dengan kulit putih dan rambut pajangnya yang lurus berkilau. Tubuhnya tinggi semampai. Penampilannya seksi dan trendi. Anggun dan indah dipandang mata. Lalu Asti? Ah bagai bumi dan langit. Asti tidak ada apa-apanya dibandingkan Rosa.
“Heh, kok melamun sih bukannya baca buku.” Tiba-tiba Aryo sudah berada di hadapan Asti.
“Maaf aku harus pergi. Ada kuliah,” kata Asti sambil bergegas membereskan buku-bukunya di meja.
“Lho, hari ini kamu sudah nggak ada kuliah lagi, kan?” tanya Aryo yang hafal jadwal kuliah Asti.
“Pokoknya, aku harus pergi,” buru-buru Asti menjawabnya. Ia lalu beranjak pergi, namun baru selangkah kakinya terhenti dan kembali berbalik ke arah Aryo.
“Mulai sekarang kita tidak usah bertemu lagi. Please, jangan temui aku lagi di perpustakaan,” pinta Asti dengan sorot mata yang terluka.
“Tapi kenapa? Apa yang terjadi? Asti… Asti… jangan pergi dulu. Tunggu!” kejar Aryo berusaha menghadang langkah Asti. Tiba-tiba sebuah tangan halus mencengkeram lengannya menahannya untuk tidak berlari mengejar Asti.
“Rosa?! Ngapain kamu di sini?”
“Aku mencarimu. Ternyata benar gosip yang beredar. Diam-diam kamu sering menemui Asti di perpustakaan ini, ya. Buat apa, sih? Apa menariknya gadis itu?” Rosa memberondong Aryo yang menjadi salah tingkah. Namun dengan cepat Aryo menguasai keadaan.
“Apa yang kau katakan pada Asti? Kau tidak berhak menyakiti gadis itu. Dan bukan urusanmu lagi aku berteman dengan siapa. Kita sudah putus. Ingat itu!” Aryo berkata tegas.
“Tapi aku tidak rela kamu mencari gantiku dengan gadis semacam dia.”
“Ah, sudahlah. Aku tidak mau bertengkar lagi denganmu. Dan ingat ya jangan sekali lagi menemui Asti.”
Aryo pergi mengejar Asti. Rosa yang ditinggalkannya hanya tertegun kemudian menangis. Mengapa Aryo tertarik dengan Asti? Kenapa bukan gadis lain yang lebih cantik dariku? Pertanyaan itu sekali lagi mengganggunya. Rosa merasa terhina.
Setelah kejadian itu Asti bagai ditelan bumi. Berkali-kali Aryo bolak balik ke perpustakaan, tapi tak dijumpainya gadis itu. Aryo tidak tahu mesti ke mana mencari tahu keberadaan Asti. Teman kuliahnya tak banyak yang mengenalnya.Alamat rumahnya Aryo tak pernah punya karena Asti tak perah memberikannya. Apalagi nomor teleponnya. Satu-satunya tempat yang diharapkan bertemu dengan Asti adalah perpusatakaan. Hampir setiap hari Aryo duduk di bangku yang biasa diduduki Asti sembari berharap gadis itu muncul. Tapi hari berlalu, minggu berlalu, bulan berlalu, Asti tak juga nongol. “Ah, Asti... di mana kamu? Aku akan tetap menunggumu di perpustakaan ini. Aku ingin menjelaskan sesuatu.... Tentang perasaanku.”

karya : Nurhayati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar