Senin, 08 Juni 2009

Santet

Mendung pekat menerabas persis di tengah rembulan yang menggantung meredup. Cahaya kilat membelahnya seperti bulan itu telah terpotong. Udara memang nyingsit. Di atas ranjang dipan yang terbuat dari besi Parni tampak tak berdaya. Tubuhnya lemas dan mukanya begitu pucat. Sejak maghrib dia sudah tertidur pulas di atasnya. Tapi dari mulutnya terus bergetar nyaris seperti menahan sakit dari ulu hati. Kaki dan badannya dingin sekali. Dan dari keningnya terus saja mengalir butiran keringat dengan begitu derasnya, menandakan bahwa dalam tubuhnya telah terbakar oleh hawa panas yang cukup misteri. Dan terus saja keluar dari mulutnya rafalan-rafalan yang tak jelas, seperti bukan suaranya sendiri.
“ Jangan pernah coba kamu mengusir saya dari sini” suara laki-laki tua dengan wibawa keluar dari mulut Parni.
“Kenapa kamu selalu mengganggu Parni” kata Langgar.
“Kamu tidak pernah tahu tentang Parni. Biarlah saya menjaganya”
“Bagaimana kamu bisa mengatakan itu menjaga, sementara tubuh Parni selalu kamu jadikan korban setiap kamu ada kehendak. Itu sekarang Parni terlihat sakit di ulu hatinya” bela Langgar.
“Sudahlah… saya tidak mau berdebat, yang jelas kamu tak akan pernah mengeluarkan saya dari tubuh Parni” tegas suara laki-laki itu makin membesar keluar dari mulut Parni.
Langgar terus saja komat-kamit membaca doa-doa di hadapan Parni. Tubuhnya terasa panas hingga seluruh tubuhnya meretas butiran keringat. Tangannya disilangkan persis di depan dada. Kali ini ia mengeluarkan jurus Qulhu Geni; sebuah ilmu kanuragan yang bertujuan untuk mengusir setan. Langgar memang sangat yakin, bahwa dalam tubuh Parni sekarang tengah diganggu oleh orang jahat. Dan terus saja ia berusaha mengeluarkannya. Tapi selalu saja usahanya sia-sia. Suara laki-laki tua yang bersarang di tubuh Parni itu terlalu kuat untuk Langgar. Segera Langgar memanggil kedua orang tua Parni, sebagai syarat untuk menambah kekuatannya agar bisa mengusir laki-laki tua itu Keduanya disuruh berdiri menghadap tubuh Parni. Bapaknya di atas kepala Parni, sedangkan ibunya di atas kaki Parni. Lantas kedua orang tua Parni oleh Langgar disuruh melangkahi tubuh Parni tiga kali. Mendadak sebuah tenaga kuat yang datang dari tubuh Parni melemparkan orang-orang yang ada di sekitar Parni. Langgar, kedua orang tua Parni dan Saka yang sejak tadi melihat kejadian itu terpelanting dengan sendirinya. Sepertinya tubuhnya terdorong oleh tenaga laki-laki perkasa. Mereka tak sanggup menahannya. Tubuh Langgar sempat membentur almari kamar dan nyaris terjatuh.
Di dalam kamar tubuh Parni terasa sangat panas sekali, hingga ia terbangun dari tidurnya. Tapi betapa terkejutnya Parni, di sekitarnya sudah berdiri Langgar, kedua orang tuanya dan Saka. Rasa tak percaya, tapi Parni tidak terlalu memeperdulikannya. Rasa ingin ke kamar mandi untuk buang air memaksanya ia bergegas bangun dari ranjang. Tapi Langgar dan kedua orang tuanya terlanjur berpikiran salah terhadap Parni. Mereka mengira Parni hendak melarikan diri. Keadaan yang tak pernah diduga oleh Parni ini menjadi aneh.
“Saya mau kencing…jangan dihalang-halangi !!!” teriak Parni terasa aneh dengan sikap langgar dan kedua orang tuanya yang bersikap tak wajar atasnya.
“Kamu pasti mau melarikan diri…” kata Langgar.
“Minggiiir!!” menyusul sebuah tenaga reflek Parni mendorong Langgar hingga Langgar kembali terjatuh. Bergegas kedua orang tuanya dan Saka segera membantu langgar. Tapi entah kenapa, tiba-tiba juga tenaga Parni malam itu lebih kuat diabanding ketiganya.
Langsung saja parni menerabas mereka.
“Saya mau kencing….dengar nggak…” tegas Parni dengan mata marah memerah.
Nampak Langgar, kedua orang tua Parni dan Saka membuntutinya dari belakang menuju kamar mandi.
“Saya ini anak kamu mak, bukan orang gila. Kenapa sih sikap kalian pada aneh begini…, orang mau kencing saja dilarang” kata Parni dari dalam kamar mandi, sadar kalau mereka selalu membuntutinya.
Selesai dari kamar mandi Parni menuju ruang tengah.
“Kalian ini pada kenapa …?” Tanya Parni heran.
“Kamu disantet orang Parni…, dalam tubuh kamu itu sudah ditanam penghuninya. Orangnya sangat kuat. Ia menaruh dendam yang amat sangat dengan kamu” kata bapaknya.
“Ah kalian ini, tidak baik berburuk sangka terhadap orang, dosa!” jawab Parni.
“Mbak tidak tahu apa yang terjadi pada tubuh mbak barusan…” jawab Langgar yang tidak lain adalah adik kandungnya Parni sendiri.
“Ya, saya tahu, tubuh saya sangat capek dan letih. Ulu hati saya tadi sangat perih, di tambah udara malam ini sangat panas, maka saya tidak bisa tidur”
“Itu perasaan mbak. Tapi baru saja saya mencoba mengeluarkan pengaruh orang jahat dari tubuh mbak, hingga tenaga mbak menjadi berlipat-lipat. Sadar kan mbak…., mbak itu perempuan, masak bisa mengalahkan tenaga kami berempat …”
“Ya jelaslah, orang kalian menghalangi jalan mbak sewaktu mau ke kamar mandi. Kalian sadar nggak, saya ini sudah tidak kuat menahan kencing, maling saja kalau sudah terdesak saat dikejar-kejar hendak ditangkap bisa melompat pagar setinggi tiga meter” Parni mencoba memasukkan unsure logika agar Langgar mengerti yang dimaksudkan.
“Bukan hanya itu, tapi saat kamu pingsan” kata ibu Parni menegaskan keterangan Langgar agar Parni bisa mengerti tentang kejadian yang mereka saksikan.
“Itu namanya delusia…” jawab Parni.
“Kamu ini kalau dibilangi ngeyel..” kata bapaknya.
“Maklumlah pak, saya ini posisi tubuh tengah capek, ditambah udara panas malam ini gerah sekali. Jadi wajar saja kalau tidur saya gelisah..” bela Parni.
“Itu tidak hanya gelisah…, tapi kamu itu disantet orang…” tampak bapak Parni geram. Terlalu sulit untuk mendialogkan kenyataan yang tengah mereka alami.
“Sekarang kata siapa saya ini disantet orang…. Pasti kata Mbah Jaro guru kebatinan Langgar kan”
“Kalau tidak percaya dengan apa yang terjadi pada tubuh mbak, besok kita menemui Mbah Jaro”

***

Terlalu sulit Parni menerima cara berpikir dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Bagi Parni, sesuatu yang ghaib dan tak tampak tak perlu harus digali secara dalam. Baginya, tentang urusan yang ghaib itu adalah hak mutlak dan urusan Tuhan semata. Toh kewajibannya hanyalah mengakui dan mengimaninya saja. Tak lebih dari. Maka ketika Langgar adiknya, bahkan kedua orang tuanya sendiri sangat dekat dengan urusan dan hal-hal yang menyangkut klenik, membuat Parni sangat hati-hati dengan setiap pemikirannya. Apalagi bagi Parni, terlalu tipis batas antara keimanan dan sirik. Dan ia tahu, kalau mereka adalah orang-orang yang tidak terlalu begitu perduli dengan agama. Bagi keluarga Parni, urusan dunia ini adalah harta dan kekayaan, yang segala kebaikan dan keburukan diukur hanya dengan takaran banyak sedikitnya harta yang dipunya. Maka ketika rezeki Parni tengah seret, langsung saja itu dihubungkan dengan keyakinan bahwa itu diguna-guna oleh orang, dimana pintu-pintu rezeki Parni ditutup. Sehingga segala usaha dan kerja yang Parni jalani selalu saja macet dan gagal.
Parni sendiri tidak demikian. Bagi Parni, rezeki itu tidak hanya dalam bentuk harta. Kesehatan, keselamatan dalam langkah, mengenal Tuhan, ditemukan dengan orang-orang yang baik, bisa menyantuni anak yatim, berpikir sehat, teramasuk harta itu sendiri selama jalan untuk mendapatakannya benar dan halal itu semua adalah rezeki. Pemahaman tentang rezeki bagi Parni adalah luas, tidak sempit.
Senja, Parni dan Langgar menemui mbah Jaro, guru kebatinan Langgar. Selain seorang ustad mbah Jaro adalah tempat orang-orang meminta jampi-jampi dan doa agar hidupnya pada dimudahkan rezekinya.
“Mbah apa benar saya ini diganggu oleh orang…” Tanya Parni.
“Orang yang mengganggumu itu sangat kuat. Namanya Singkih, pasti kamu sangat kenal, orang ini sebenarnaya sudah mati seratus tahun yang lalu. Dan yang ada sekarang itu adalah perwujudannya saja. Dia sangat dendam dengan kamu, karena kamu tidak mau menuruti kata hatinya” kata Mbah jaro.
Parni Nampak hati-hati untuk menerima kata-kata mbah Jaro. Memang benar, Singkih adalah nama yang sangat dikenal dekat dalam hidupnya. Namun sebaliknya, di mata Parni Singkih adalah orang tua yang baik dan selalu memberikan nasehat-nasehat dan keilmuan yang berharga dalam hidupnya hingga ia mengenal jalan-jalan terang yang selaras dengan tuntunan agama yang diyakini Parni. Dan Parni masih mencoba diam mencerna. Kali ini ia sangat hati-hati menangkap setiap butiran-butiran kata mbah Jaro yang membakar keimanannya.
“Mbah, terus terang saja maksud saya ke sini tidak ingin meminta batu cincin atau sejenisnya, saya takut musrik. Tapi saya hanya ingin memastikan apakah benar mbah Jarolah orang yang mengatakan kalau saya ini sekarang tengah disantet orang”
“Ini kamu saya beri doa Qulhu Geni untuk mengusir setan” kata Mbah Jaro.
“Dalam pemahaman agama saya, doa Qulhu Geni itu tidak ada ajarannya mbah” jawab Parni.
“Ya, apa salahnya untuk menenangkan pikiranmu …”
Setelahnya Parni dan Langgar pamit pulang meninggalkan Mbah Jaro dengan menyelipkan selembar uang lima puluh ribuan ke sakunya.

***

Parni masih belum bisa menerima semuanya. Tubuhnya sehat. Sesekali memang kadang-kadang ia sakit. Itupun ia sangat sadar karena tubuhnya yang selalu diporsis untuk bekerja sehingga menyebabkan tiba-tiba ia demam tinggi. Dan itu sakit biasa. Tidak pernah ia merasa disantet oleh orang. Maka ketika pada suatu malam Langgar datang menemuinya membawa cambuk Kalimosodo untuk keselamatannya, batin Parni semakin berontak. Tapi naluri kemanusiaan Parni sangat tidak ingin adiknya yang berniat baik kepadanya menjadi tersinggung. Maka ia terima saja semuanya tentunya dengan setengah hati.
Hingga sebuah HP diangkatnya. Ditekan sebuah nomor khusus.
“Saya Parni” katanya.
“Ya, ada apa…?”
“Saya mau Tanya tentang santet yang ada pada diri saya”Tanya Parni
“Kamu dengan saya, dimana posisi jarak kita yang sangat jauh dan kita tidak berhadap-hadapan, apa bedanya dengan istilah santet yang kerapkali dipahamkan oleh orang-orang, dimana mengirim suatu benda apa saja ke dalam tubuh orang yang ingin dicelakai dari jarak jauh”.
“Maksudnya …”
“Di dalam HP kita pada jarak tertentu bisa mengirimkan sebuah materi gambar atau audio tanpa ada koneksitas lewat kabel atau sentuhan langsung yang kita sebut sebagai bluetoth apakah itu juga bukan santet? Sebuah materi kertas pada kertas fax, yang kemudian dilebur menjadi sebuah partikel yang sangat kecil dan lembut berbentuk immateri lantas dihantarkan pada jaringan kabel hingga bisa dicetak kembali dalam wujud dan bentuk yang sama persis, sementara jaraknya yang sangat jauh, apakah itu bukan santet namanya” jawab suara di telpon itu membuat Parni mengernyitkan dahi.
“ Jadi, apa hubungannya dengan santet?” Tanya balik Parni.
“Tidak ada manusia di dunia ini yang bisa mengetahui persoalan-persoalan yang ghaib. Karena sesungguhnya di dunia ini yang nyata sendiri sesungguhnya itu adalah ghaib sendiri. Semua materi yang kamu pegang di dunia ini sebenarnya adalah immateri”
“Jadi ?”
“Ya, apakah di dunia ini semua ada yang abadi, kekal tak lekang waktu?”
“Jadi apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh saya?” penasaran Parni masih menggeliat-geliat.
“Jiwa dan ruh itu sebenarnya bersatu. Keduanya lebur seimbang. Maka ketika kita membuat keduanya tidak seimbang, di sinilah akan muncul rapuhnya persenyawaan. Kamu seringkali memporsir jasad kamu untuk melakukan persoalan-persoalan yang teramat besar di luar kadar kesanggupan ruh kamu yang sebenarnya, hingga nyaris ruh itu terkadang tertinggal di bilik-bilik kosong dan kehilangan doa. Begitu kesenyapan menjelma ruh meronta, dan cahaya berikutnya sudah berwujud tikungan-tikungan. Di sinilah kenapa batinmu selalu gelisah dan tidak tenang. Hingga dirimu terpojok di delusia. Pernah ingat kisah Sumanto yang memakan mayat manusia kan. Itu juga delusia”
“Kalau begitu….”
“Tidak ! Kamu jelas tidak seperti Sumanto… tapi tak jauh beda…” kelakar suara dalam telpon itu.
“Haaaah…” Parni terkaget.
“Gurau saja….” Jawabnya menenangkan Parni.
“Bukan, kira-kira benar apa tidak saya ini terkena santet ?”
“Berpikirlah nol. Jadilah manusia lillah yang tidak memberi kesempatan hati ini curiga terhadap orang lain meskipun benar adanya, sebab kasih sayang Tuhan sudah lebih cukup untuk tidak menimbun sakwa-sakwa. Batas sesat dan kebenaran lebih tipis dari 0,0000000000001 trilyun, dan biasanya kita mudah terperangkap keyakinan kita saat kita tak berdaya. Jangan pernah berpikir negatif dan sakit terhadap siapapun” terangnya.
“Lantas apa yang harus saya lakukan, ketika orang-orang disekitar saya semua bersikeras tetap yakin kalau saya disantet orang”
“Sebagai manusia biarlah kita menjadi manusia yang terbatas untuk menembus Ghaib-Nya. Tuhan telah membuat batasnya begitu tipisnya sepersekian trilyun-trilyun. Sehingga iblis lantas menangkapnya untuk selanjutnya menjadi ‘tuhan tandingan’ di dunia. Di sinilah iblis sakti berperan membabat aqidah. Hingga tak ada dosa yang terampuni oleh-Nya selain sirik. Belajarlah menjadi manusia yang ikhlas dan pandai bersyukur. Serahkan semua tubuh, hidup dan kehidupan ini hanya pada Tuhan”.
Sejak suara telepon itu, Parni mulai menjadi cahaya bahwa dirinya tak pernah disantet oleh siapapun. Sekalipun informasi itu mucul dari orang tuanya sendiri. Parni lebih memilih menyerahkan hidup dan matinya total pada Tuhan.
“Tidak ada orang yang lebih kuat kecuali Tuhan” kembali Parni membeningkan batinnya. Menyusul kepalanya yang selalu runduk ke tanah setiap waktu persembahyangan***


Tidak ada komentar:

Posting Komentar